COVID-19, sadarkan pentingnya keterbukaan dan kemandirian

id Hasanuddin Atjo,covid-19

COVID-19, sadarkan pentingnya keterbukaan dan kemandirian

Kepala Bappeda Sulteng Hasanuddin Atjo (ANTARA/HO-Dokumen pribadi)

Kemandirian merupakan syarat yang tidak kalah strategisnya dalam menekan laju penularan COVID-19.
Palu (ANTARA) - Tidak ada yang bisa sangkal bahwa COVID-19 membuat isi dunia menjadi pusing, cemas dan dihinggapi rasa panik. Pasalnya, per 1 April 2020, sebarannya telah merambah ke-203 Negara, dan secara nasional sudah masuk ke 32 provinsi.

Korban meninggal dunia per 1 April kemarin secara global mencapai 36.405 orang atau 4,85 persen dari 750.890 kasus yang terkonfirmasi dan yang sembuh 117.141 orang (15,60 %). Secara nasional, pasien meninggal 157 orang dari 1.677 kasus terkonfirmasi (9,36%) dan sembuh 103 orang (6,14%).

Keterbukaan informasi menjadi salah satu strategi penting untuk menekan laju penularan COVID-19 ini. Dengan kemajuan teknologi digital, warga dengan cepat mengetahui mana daerah yang rawan, dimana keberadaan warga dengan status ODP, PDP, suspect dan positif, lengkap dengan nama, alamat bahkan koordinat.

Keterbukaan ini antara lain telah diterapkan di Korea Selatan dan Singapura dalam rangka menekan laju penularan virus berbahaya itu. Kini kedua negara tersebut grafik laju penularannya jauh menurun. Tentunya ini merupakan harapan baru bagi negara lain, khususnya Indonesia.

Peran Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) tentunya penting sebagai garda paling depan dari sistem pemerintahan kita. Yang menjadi soal adalah kualitas Ketua RT dan RW kita belum merata dan sesuai standar yang diperlukan.

Baca juga: Kades dan perangkatnya harus miliki OK-DE

Saatnya RT dan RW diposisikan sebagai manajer. Mereka harus mendapat gaji yang sesuai agar bisa bekerja profesional, dan direkrut sesuai kriteria manajer. Saat ini ada RT dan RW hanya digaji Rp200.000 per bulan.

Karena itu untuk kasus seperti di atas, yang direkrut sebagai RT dan RW adalah para ASN, pegawai swasta atau tokoh masyarakat setempat yang memiliki pekerjaan tetap. Kondisi yang seperti ini membuat kita tidak bisa berharap banyak pada RT dan RW untuk bisa bekerja lebih maksimal dalam mengedukasi maupun mendampingi warganya.

Kemandirian merupakan syarat yang tidak kalah strategisnya dalam menekan laju penularan COVID-19. Kemandirian pangan dan kemandirian energi bagi sebuah negara atau sebuah wilayah menjadi syarat untuk memutuskan apakah negara atau wilayah itu bisa 'lockdown' atau tidak.

Singapura adalah negara dengan indeks kemandirian pangan peringkat pertama dari 113 negara yang diukur Global Food Security Indek pada 2019 yaitu 87,4. Korea Selatan dengan nilai 73,6 (peringkat 29) dan Indonesia nilai 62,6 berada di peringkat 62.

Impor pangan dan energi Indonesia pada 2019 relatif masih tinggi meskipun ada penurunan dari tahun 2018. Total impor per Desember 2019 mencapai 14,50 miliar dolar AS. Impor nonmigas termasuk pangan mencapai 12,37 miliar dolar AS dan impor migas 2,13 miliar dolar AS.

Baca juga: Memutus mata rantai kemiskinan

Inilah yang menjadi salah satu landasan mengapa Presiden Joko Widodo bersama kabinetnya tidak memilih kebijakan 'lockdown penuh' terkait upaya melawan pandemik virus corona namun memutuskan 'lockdown terbatas atau parsial'.

Kebijakan yang diambil Presiden Jokowi dipandang sejumlah kalangan sudah tepat, karena sejumlah negara yang menerapkan 'lockdown penuh' seperti India dan Amerika Serikat terbukti menuai sejumlah masalah sosial baru yang lebih memperparah keadaan.

Ada tiga pesan yang dapat menjadi renungan kita untuk ke depan dari bencana pandemic corona ini. Pertama adalah pengembangan dan pemanfaatan teknologi digitalisasi. RT dan RW serta desa harus didorong lebih menguasai teknologi komunikasi ini agar keterbukaan informasi bisa dipercepat.

Kedua pengembangan sumberdaya alam kita untuk kemandirian pangan dan kemandirian energi yang menurut analisis Pricewaterhouse Cooper 2017), Indonesia sangat potensial menjadi negara mandiri dengan prediksi pendapatan total pada 2045 sebesar 7 triliun dolar AS dan mendudukkan Negeri ini pada peringkat ke-5 kekuatan ekonomi dunia.

Semua ini akhirnya berpulang kepada pemimpin di daerah masing-masing. Sangat diperlukan pemimpin daerah yang inovatif, adaptif dan selalu update untuk menggapai harapan itu. Semoga.

Baca juga: Desa sebagai mesin pangan dan tenaga kerja bagi ibukota baru