HET Elpiji Yang Tak Bergigi

id gas elpiji, HET, Rolex Malaha,

HET Elpiji Yang Tak Bergigi

Masyarakat mengeluh karena gas elpiji 3 kilogram tidak sesuai harga eceran tertinggi.(Foto : ANTARA/ilustrasi)

"Ketentuan dari gubernur kan harganya Rp15.500 pak," katanya sedikit protes dan dijawab spontan oleh si agen dengan nada bercanda: `kalau begitu ibu beli sama gubernur saja.`
Palu (antarasulteng.com) - Seorang ibu di bilangan Jalan Towua, Kota Palu, Nursiah, mendatangi sebuah agen penjual elpiji tabung 3 kg untuk mengisi ulang tabungnya yang sudah kosong dan agak terkejut karena harganya mencapai Rp18.000.

"Ketentuan dari gubernur kan harganya Rp15.500 pak," katanya sedikit protes dan dijawab spontan oleh si agen dengan nada bercanda: `kalau begitu ibu beli sama gubernur saja.`

Itulah sepenggal dari banyak potongan cerita miris tentang harga eceran tertinggi (HET) elpiji tabung 3 kilogram pascadirealisasikannya program konversi minyak tanah ke gas di Sulawesi Tengah mulai Januari 2014 dan hingga kini masih karut-marut.

Sulawesi Tengah terlambat empat tahun memulai program konversi yang telah dicanangkan pemerintah pusat pada 2010 tersebut, karena masalah infrastruktur yang belum siap yakni belum memiliki stasiun pengisian bahan bakar elpiji (SPBE).

Akhir 2013 barulah empat SPBE berkapasitas total 400 kiloliter yang berlokasi di Loli (Kota Palu), Donggala, Parigi dan Luwuk, selesai dikerjakan sehingga program konversi bisa diluncurkan mulai akhir Januari 2014.

Hingga saat ini, program itu baru dilaksanakan secara menyeluruh di Kota Palu dan lima kecamatan di Kabupaten Sigi serta tiga kecamatan di Kabupaten Donggala, dua kabupaten tetangga terdekat dengan Kota Palu.

Namun pengalaman pahit di daerah lain yang telah lebih dahulu melaksanakan program konversi tersebut tampaknya tidak menjadi pelajaran bagi jajaran pelaksana di daerah ini.

Pengalaman pahit itu antara lain terlambatnya distribusi tabung sementara minyak tanah subsidi telah ditarik, ledakan tabung karena kualitasnya diragukan, serta ketentuan harga eceran tertinggi (HET) yang dikangkangi pedagang sementara pemerintah daerah tak mampu berbuat apa-apa.

"Belum lagi ketentuan HET yang ditetapkan pada Desember 2014 sebesar Rp15.550/tabung diterapkan, Hiswana Migas yang didukung DPRD Sulawesi Tengah sudah meminta kenaikan HET," ujar Asisten bidang Ekonomi dan Pembangunan Pemprov Sulteng Bunga Elim Somba.

Gubernur Sulteng Longki Djanggola semula telah menerbitkan keputusan yang menetapkan HET elpiji tabung 3 kg untuk lokasi dengan radius 0-60 kilometer dari SPBE sebesar Rp15.550 tabung, sementara radius 61 km ke atas ditetapkan bervariasi antara Rp17.000 sampai Rp30.000/tabung.

Itu berarti, harga elpiji 3 kg di dalam Kota Palu serta sebagian kecamatan di Kabupaten Donggala dan Sigi seharusnya Rp15.550/tabung.

"Namun faktanya, tidak ada elpiji 3 kg yang dijual Rp15.550/tabung di tiga daerah terkena program konversi itu. Di dalam Kota Palu saja, rata-rata dijual Rp17.000/tabung, sedangkan di pinggiran kota serta di Donggala dan Sigi ada yang mencapai Rp19.000 bahkan Rp20.000/tabung," kata Ridwan Jalidjama, Ketua Komisi III DPRD Sulteng.

Tarik-menarik

Terkait HET elpiji 3 kg tersebut, Pemerintah Provinsi dan DPRD Sulteng kini tarik-menarik. Pemprov bersikeras mempertahankan HET Rp15.550/tabung sementara DPRD mendesak dinaikan menjadi Rp16.500/tabung untuk mengakomodasi tuntutan Hiswana Migas yang meminta HET Rp17.000/tabung.

"HET yang ada saat ini sudah akomodatif. Dengan HET itu, kami sudah memperhitungkan margin (keuntungan) bagi pedagang yakni agen Rp1.200/tabung dan pangkalan Rp1.700/tabung," kata Asisten Ekbang Pemprov Sulteng Bunga Elim Somba.

Selain itu, HET tersebut juga menyesuaikan dengan HET daerah tetangga agar moderat karena di Sulsel, HET ditetapkan Rp12.750, Sulbar Rp13.000, Gorontalo Rp16.000 dan Sulut Rp15.000/tabung.

"Jadi HET kita sudah sangat akomodatif. Ada margin bagi anggota Hiswana Migas dan moderat di antara semua provinsi se-Sulawesi sehingga tidak akan terjadi `penyelundupan` elpiji antar daerah bilaharga di satu tempat terlalu tinggi," kata Elim, doktor bidang ekonomi tersebut.

Namun hal itu ditentang seorang agen minyak tanah dan tabung elpiji anggota Hiswana Migas saat hadir dalam rapat dengan tim gabungan Komisi I (pemerintahan) dan Komisi II (ekonomi) DPRD Sulteng pekan lalu yang menyebutkan bahwa margin yang mereka peroleh hanya Rp750/tabung.

"Jadi tidak bisa kami menjual dengan harga Rp15.550/tabung. Terlalu tipis untungnya pak, apalagi resiko menjual tabung tinggi sekali dibanding minyak tanah. Selain itu, volume penjualan kami tiap hari paling banyak limatabung," ujar lelaki yang tidak menyebut namanya itu.

Keluhan agen elpiji itu didukung anggota DPRD dan mengatakan bahwa pemerintah harus lebih realistis karena kenyataannya sekarang harga di lapangan paling rendah Rp17.000.

DPRD Sulteng akhirnya memutuskan untuk mengusulkan kenaikan HET elpiji bersubsidi pada radius 0-60 km ini dari Rp15.550 menjadi Rp16.500/tabung.

Harus realistis

"Pemerintah daerah harus lebih realistis dan membantu para agen dan pangkalan, sebab tanpa peran mereka, program konversi ini akan gagal," ujar Ridwan Jalidjama yang juga Ketua Komisi I Bidang Pemerintahan DPRD Sulteng.

DPRD akan kembali memanggil gubernur, Hiswana Migas, kepala dinas/instansi terkait, Hiswana Migas dan pemangku kepentingan lainnya pada Senin (10/3) untuk menyepakati HET baru dan cara pengawasannya

agar bisa dilaksanakan secara konsekwen.

"Kalau HET baru sudah mengakomodasi tuntutan semua pihak, khususnya anggota Hiswana Migas dan mereka masih mengangkanginya, maka izin usaha mereka harus dicabut. Jangan lagi seperti saat ini, ada ketentuan HET tapi tidak dilaksanakan, sementara pemerintah tidak mampu mengamankan ketentuan yang dibuatnya sediri," ujar politisi Partai Golkar itu.

Ridwan menyebut bahwa HET elpiji bersubsidi yang relatif rendah di daerah tetangga seoerti yang dikemukakan Bunga Elim Somba, sama sekali tidak ditaati pedagang.

Buktinya, di Sungguminasa, Kabupaten Gowa, tabung elpiji dijual Rp17.000/tabung padahal HET Rp12.750. Di Pasangkayu, Mamuju Utara, dijual Rp18.000 padahal HETnya Rp13.000.

"Di Depok saja, tabung elpiji 3 kg dijual Rp19.000, padahal itu di kota besar, dekat Ibu Kota Negara lagi," kata mantan Ketua DPRD Donggala itu dengan nada tinggi.

Kalau hal yang tidak realistis seperti ini dipertahankan dan berlarut-larut, ujar Ridwan, maka yang dirugikan adalah rakyat miskin yang menjadi target program konversi.

"Sekarang ini, program konversi di Kota Palu justru semakin memperberat beban penduduk miskin. Tabung elpijinya belum tersalurkan, tapi subsidi minyak tanah sudah ditarik dan harganya tidak bisa dikendalikan, yang sebelumnya hanya Rp4.000-an, kini mencapai Rp13.000 bahkan lebih," ujar Amrun Marjudo, seorang warga Kota Palu di Gedung DPRD Sulteng.

Sebetulnya, kata Amrun, warga tidak terlalu mempersoalkan berapa HET, tetapi yang penting tabung elpiji mudah ditemukan di pasar.

"Jangan seperti kondisi saat ini, elpiji tidak ada, minyak tanah hilang lalu harganya sama-sama tak mampu dikendalikan pemerinth dan Pertamina. Yangmenderita adalah penduduk miskin," ujarnya. ***