Mbok Sri `Icon` Industri Rumahtangga Bawang Goreng

id bawang goreng

Mbok Sri `Icon` Industri Rumahtangga Bawang Goreng

Ny. Harjo Sriyono alias Mbok Sri (AntaraSulteng.com/Rolex Malaha)

Pada Hari Nusantara 2012, Mbok Sri menerima penghargaan Terbaik I Tingkat Nasional dalam usaha industri hasil perikanan berupa abon ikan."
Ingat bawang goreng, pasti ingat Mbok Sri. Sebut nama Mbok Sri, langsung ingat bawang goreng Palu.

Begitulah gambaran hubungan yang sulit dipisahkan antara nama wanita berusia 82 tahun ini dengan industri rumah tangga 'bawang goreng' Palu yang pamornya kini sudah menasional bahkan mulai mengglobal.

Bawang goreng Palu tampaknya belum ada duanya di Indonesia, bahkan (mungkin) di dunia. Bumbu makan ini memiliki kekhasan yang tidak ditemukan pada jenis bawang manapun di Indonesia.

Jangankan di provinsi lain, di kabupaten/kota lainnya di Sulawesi Tengah selain Kota Palu, jenis bawang yang tampak berwarna pucat saat masih mentah ini, belum ditemukan. Hanya bawang yang dibudidayakan di lembah Palu lah yang menunjukkan kekhasannya setelah digoreng. Walaupun bawang sejenis tetapi di tanam di luar lembah Palu, maka kekhasan itu akan hilang.

Ciri khas utama bawang ini adalah kegurihannya. Dengan pengolahan dan penggorengan tradisional tanpa pencampur apapun, produk bawang goreng ini akan terasa gurih, renyah saat dikunya, enak di lidah dan baunya pun merangsang selera makan. Kegurihan dan bau harumnya itu bisa bertahan sampai setahun bila ditempatkan dalam wadah tertutup rapat seperti toples

Itu sebabnya, bawang goreng Palu dewasa ini tidak lagi sebatas penyedap yang ditaburkan di atas berbagai jenis makanan siap saji, tetapi sudah dimanfaatkan sebagai camilan untuk menemani minum kopi atau teh di sore hari.

Adalah Ny. Harjo Sriyono, wanita Jawa kelahiran Pakualaman, Yogyakarta, 10 Mei 1932 yang mengenalkan bisnis bawang goreng ini melalui usaha industri rumah tangga pada 1976.

Saat itu, ibu empat anak ini sedang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah Bob Dunllop, seorang warga Inggris yang bekerja sebagai konsultan Proyek Irigasi Gumbasa, milik Kementerian Pekerjaan Umum.

"Setiap hari, setelah tuan Dunllop berangkat kerja hingga menjelang pulang ke rumah pada sore hari, saya pergi membeli bawang di pasar dan menggorengnya," ujar Mbok Sri, panggilan akrabnya sejak menjadi pembatu rumah tangga di lingkungan keluarga Raja Yogyakarta Sri Paku Alam IV saat berusia 12 sampai 16 tahun.

Sebagai pembantu rumah tangga yang memiliki kemahiran dalam masak-memasak saat tinggal di rumah keluarga Kanjeng Suryaningrat, paman Paku Alam IV, Mbok Sri langsung melihat adanya keistimewaan dari bawang merah berwarna pucat (allium ascalonicum l.) di lembah Palu ini.

"Waktu itu, bawang Palu ini banyak sekali dijual di pasar-pasar tetapi orang-orang tapaknya tidak memperdulikan. Mungkin karena warnanya yang putih pucat sehingga orang tidak suka," ujarnya dalam perbincangan di kediamannya yang luas dan cukup mewah di sekitar Bandar Udara Mutiara Sis Aldjufri Palu.

Bermodalkan gaji sebagai PRT di rumah Bob Dunllop Rp20.000/bulan, ia membeli bawang Palu ini lima kilogram tiap hari dan menghasilkan dua toples bawang goreng.

Karena ia juga memiliki kemahiran membuat abon daging sapi saat tinggal di lingkungan keluarga Kraton Yogyakarta, Mbok Sri juga membeli dua kilogram daging sapi yang menghasilkan dua toples abon.

"Saya kemudian berjalan kaki keluar-masuk kantor polisi, DPRD dan kantor-kantor pemerintah lainnya menawarkan bawang goreng dengan harga Rp3.000/toples dan abon daging sapi Rp5.000/toples.

Saat Bob Dunllop akan kembali ke Inggris pada 1980 karena selesai kontrak, ia meninggalkan uang Rp200.000 kepada Mbok Sri yang kemudian dimanfaatkan sebagai modal untuk mengembangkan usahanya secara mandiri.

Dengan upaya keras dibantu puterinya dan keluarga H. Masruddin tempatnya menumpang sebagai pembantu rumah tangga setelah Bob Dunllop berangkat, Mbok Sri mulai berusaha secara mandiri.

Lewat bantuan Kapolwil Sulteng Kolonel Polisi Oentoro Wiryawan saat itu, ia membeli sebuah rumah di BTN Mutiara Indah seharga Rp.7.500.000 secara mengangsur Rp5.000/bulan sebagai tempat usaha.

"Di kompleks inilah saya memulai usaha pada 1984 secara mandiri meski harus merayap. Alhamdulillah, saat ini saya sudah memiliki 17 kavling tanah dan rumah di komplek ini," kata wanita yang sudah meraih berbagai penghargaan tingkat nasional ini di rumahnya yang luas dan mewah di BTN Mutiara Indah Palu.

Dengan mempekerjakan 12 orang karyawan yang sebagian besar perempuan, usaha rumah tangga Mbok Sri yang kini dikendalikan menantunya Muhammar Suwarno itu bisa menghasilkan omzet penjualan antara Rp 350 sampai Rp400 juta perbulan.

"Keuntungan yang kami peroleh sekitar 25 sampai 30 persennya," kata Sumarno yang mendampingi Mbok Sri.

Pertahankan `brand`

Sebetulnya, kata Suwarno, usaha mereka ini berpeluang untuk meningkatkan omzet sampai dua bahkan tiga kali lipat karena begitu banyaknya permintaan dan tawaran kerja sama baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Bank-bank juga sudah banyak yang menawarkan diri untuk membeirkan kredit berapa pun yang dibutuhkan Mbok Sri untuk mengembangkan bisnis ini, namun semuanya masih ditolak. Karena itu, sejak usaha ini berdiri, mereka tidak pernah menggunakan dana pinjaman dari sumber manapun.

"Saya belum berani menerima tawaran-tawaran itu karena kami belum siap dengan sumber daya manusia (SDM). Tenaga kerja kami belum bisa diandalkan untuk menaikkan produksi dengan tetap menjaga kualitas standar yang selama ini sangat dijaga ibu (Mbok Sri)," ujarnya.

Karena itu, sebagai penanggung jawab usaha ini, saya memutuskan untuk bertahan di skala usaha yang ada saat ini, yang penting `brand` Mbok Sri tetap terpelihara.

"Apa gunanya kami menaikkan produksi namun kemudian reputasi Mbok Sri menjadi rusak. Lama-lama kami malah akan mati," ujar Suwarno, insinyur teknik sipil lulusan Universitas Tadulako Palu tersebut.

Pengembangan usaha yang dilakukan adalah meningkatkan variasi produk memanfaatkan nama baik Mbok Sri di Kota Palu yang sudah terkenal di bidang kuliner.

"Di Kota Palu ini, nama ibu kan sudah punyak merek yakni `apapun yang dimasak Mbok Sri pasti enak.` Nah, nama ini yang kami manfaakan," ujar Suwarno lagi.

Produk yang dihasilkan kemudian ditambah sehingga Mbok Sri kini juga menghasilkan berbagai produk bahan makanan lainya seperti dampo durian, sambal roa, abon ikan laut, dan abon ikan roa.

"Pada Hari Nusantara 2012, saya menerima penghargaan sebagai Terbaik I tingkat nasional dalam usaha industri hasil perikanan berupa abon ikan," ujar Mbok Sri.

Setahun kemudian, Mbok Sri mendapt kepercayaan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menjadi Pusat Pelatihan Mandiri Kelautan dan Perikanan (P2MKP). Selama 2013, P2MKP ini sudah melatih 80 orang di bidang industri hasil perikanan, khususnya abon ikan.

Ketika ditanya apa resepo keberhasilannya dalam mengembangkan usaha ini, nenek 16 cucu dan 13 cicit ini spontan menyebutkan tiga hal yakni jujur, shalat lima waktu plus tahajud serta rajin bersedekah.

Sementara itu, Alfred Nobel Lamandasa, penyuluh bidang industri Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM Sulteng mengatakan bahwa usaha bawang goreng dan abon sapi/ikan laut Mbok Sri tidak terlalu banyak mendapat sentuhan pemerintah karena prinsip mereka untuk berusaha secara mandiri.

"Jangankan meminta bantuan pemerintah, mereka malah kelihatannya malu kalau diberi bantuan," ujarnya.

Namun demikian, Dinas Perindagkop dan UMKM Sulteng pernah membantu usaha Mbok Sri dengan satu paket peralatan penggorengan bawang dan beberapa kali menggelar kegiatan Gugus Kendali Mutu (GKM) di tempat usaha mereka.

Melalui GKM ini, seluruh proses industri dikaji kualitasnya sehingga semua rantai kegiatan terjaga standar mutunya dan menyebabkan kualitas produk Mbok Sri selalu terjaga sehingga sangat disukai pasar. (R007)