Membangun Perdamaian Dari Atas Kain Oleh Adha Nadjemuddin

id nunu, tavanjuka, damai, palu

Membangun Perdamaian Dari Atas Kain Oleh Adha Nadjemuddin

Bentrokan antara warga Kelurahan Nunu dan Tavanjuka mengakibatkan rumah-rumah terbakar. (ANTARA/Zainuddin MN)

Orang tua kami selalu mengajarkan kalau ada masalah diselesaikan dengan cara duduk bersama. Bukan dengan tindakan brutal,"
Palu - Suhu permukaan bumi di Kota Palu, Sulawesi Tengah, Senin siang cukup panas akibat terik panas matahari.

Cuaca itu tidak menyurutkan semangat puluhan warga di Kelurahan Nunu, Kecamatan Palu Barat, untuk turun ke jalan mengarak kain putih sepanjang 30 meter berkeliling di sejumlah ruas jalan dan lorong-lorong di kelurahan itu.

Kain itu bertuliskan "kami ingin damai". Di kain itu juga berserakan tandatangan warga sebagai wujud keinginan dan tekad mereka untuk hidup rukun dan damai.

Selama ini masyarakat Nunu kerap terlibat dalam konflik dengan warga di Kelurahan Tavanjuka, Kecamatan Palu Selatan.

Dua kelurahan bertetangga ini yang hanya di batasi sungai yang di atasnya dibangun sebuah jembatan.

Di wilayah perbatasan inilah sering terjadi "perang" dengan berbagai peralatan senjata tajam.

Akibat konflik yang terjadi sejak tahun 1964, 1994, 2007, 2011 dan 2012 itu telah menewaskan dua warga. Puluhan luka-luka.

Belasan rumah dan sepeda motor dibakar. Sekitar 40 kepala keluarga mengungsi.

"Konflik itu tidak menghasilkan emas sebesar biji kelapa. Kalau bukan mati, yah masuk rumah sakit. Sama sekali tidak ada untungnya," kata tokoh masyarakat Nunu, Nasir.

Senin siang, puluhan ibu-ibu rumah tangga, kalangan pemuda dan orang tua turun ke jalan hanya untuk bertandatangan di atas kain putih sepanjang 30 meter.

Tidak ketinggalan tokoh masyarakat seperti mantan Bupati Donggala HN Bidja, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga ikut serta menyaksikan penandatanganan itu.

Sikap warga tersebut ditunjukkan sebagai wujud dari cintai damai mereka karena sudah bosan dengan konflik yang tak pernah usai di daerah itu meski sudah beberapa kali upaya damai dilakukan.

Seorang ibu di Jalan Beringin, Aci mengatakan selama ini dia tidak hidup nyaman dan tenang bekerja karena terus menerus was-was terhadap konflik. Karena itulah Aci menyambut gembira lahirnya kesadaran warga untuk hidup damai berdampingan satu sama lainnya.

"Mudah-mudahan semua sudah berakhir supaya kita bisa hidup tenang. Mana banyak anak mau diurus. Mereka butuh makan, kita butuh ketenangan," kata ibu tiga anak itu.

Upaya damai yang disimbolkan melalui penandatanganan sikap di atas kain putih tersebut diprakarsai oleh sekelompok anak muda di Nunu.

Mereka dulu pernah terlibat dalam konflik. Kini mereka sadar bahwa konflik itu tidak ada manfaatnya.

Beberapa anak muda di Nunu yang dulunya tidak mempunyai pekerjaan tetap, mereka kini direkrut menjadi polisi pamong praja.

Anak-anak muda itu baru resmi menyandang tugas sebagai pamong pekan lalu.

Pemerintah Kota Palu juga merekrut anak muda dari kelurahan Tavanjuka. Mereka dulunya saling serang, kini bersatu dalam pendidikan polisi pamong praja.

"Kami di lokasi pendidikan saling berpelukan. Kami disatukan dalam satu kelompok pendidikan," kata salah seorang dari mereka.

Polisi pamong praja itulah mengambil peran dalam deklarasi perdamaian di Nunu. Mereka turun serta mengarak kain panjang dari jalan satu ke jalan lainnya. Dari lorong satu ke lorong lain di lingkungan itu.



Terbatas

Komposisi penduduk di Kelurahan Nunu yang mencapai 8.000 jiwa, hanya sekitar 30-35 persen yang memiliki pekerjaan tetap.

Mereka bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Selain itu bekerja di sektor swasta. Ada yang menjadi pedagang, buruh bangunan dan tani.

Lurah Nunu Irsan Sidjo mengatakan, masyarakat yang dulunya masih punya lahan untuk bercocok tanam kini tidak bisa lagi menggarap lahan karena ketiadaan lahan. Lahan yang dulunya masih tersedia kini tergantikan dengan bangunan perumahan.

"Jadi, faktor ketiadaan lapangan kerja juga ikut memperburuk situasi di kelurahan kami," kata Irsan.

Inilah kata dia yang sekarang menjadi tugas dari seluruh pemangku kepentingan terkait untuk mencarikan solusi atas masalah yang dihadapi warga.

"Kalau program transmigrasi, saya pikir mereka tidak mau. Karena selama ini masyarakat sudah dimanjakan oleh lingkungan yang ada," kata Irsan.

Sekarang pemberdayaan masyarakat. Dulu Mall belum berdiri jalan Anoa sering bentrok. Sekarang tidak lagi.

Untuk penanganan jangka pendek pemerintah Kota Palu telah melakukan pemberdayaan yakni merekrut kedua belah pihak warga bertetangga kelurahan itu menjadi anggota polisi pamong praja dan pemberdayaan ternak.

Pekan lalu pemerintah Kota Palu, telah meluncurkan pembuatan kandang ternak kambing dengan merekrut tenaga kerja 66 orang. Mereka dibagi dalam tiga kelompok. Perorang mendapat upah sebanyak Rp40 ribu per hari dengan waktu kerja 20 hari. Sehingga dipastikan setiap orang mendapat upah Rp800 ribu.

"Tapi hanya satu minggu sudah selesai dikerjakan semua. Ini artinya warga kami memang mau bekerja, hanya lapangan pekerjaan saja tidak ada," kata Irsan.

Sebagai kepala wilayah di kelurahan, Irsan mengatakan pemerintah kelurahan sangat terbuka dengan siapa saja yang mau berbagi dalam rangka penguatan sumber daya manusia. Irsan optimistis semakin bagus sumber daya masyarakatnya akan semakin terbuka peluang kerja.

Irsan mengakui bahwa selama ini ada kecenderungan hidup manja sebagian masyarakatnya karena situasi di kelurahan itu sebagian besar masih serumpun dan memiliki ikatan keluarga. Baik di Kelurahan Nunu maupun dengan masyarakat di Kelurahan Tavanjuka.

"Bagaimana tidak manja, begitu bangun pagi, dia liat tidak ada makanan di dapurnya, dia langsung menyeberang ke tetangga. Kenapa? Karena tetangganya ada paman, tante dan saudara. Kondisi inilah sehingga saudara kami hidup manja," katanya.

Menurut Irsan, masyarakat di Nunu jarang yang merantau ke luar daerah. Karena selama ini mereka dididik dalam lingkungan yang manja. Kalaupun ada keluar daerah, kebetulan karena mereka sekolah di luar atau karena tugas di luar daerah.

Nasir, tokoh masyarakat di Nunu mengatakan konflik yang terjadi selama ini merupakan akumulasi dari berbagai masalah, mulai dari masalah terbatasnya lapangan kerja, politik, kecemburuan sosial, kenakalan remaja dan sebagainya.

"Bagaimana masyarakat tidak cemburu kalau yang ikut tender proyek atau kerja proyek, misalnya, tidak ada putera daerah. Ini semuanya terakumulasi sehingga terlampiaskan dalam bentrok konflik," kata Nasir.

Dia mengatakan, konflik antarwarga kelurahan bertetangga itu bukan karena alasan batas wilayah, tetapi akumulasi dari berbagai masalah.

Dulu kata Nasir, masyarakat Nunu dan Tavanjuka masih kompak dalam mengelola sumber daya alam di perbatasan kelurahan tersebut. Menurut Nasir, sungai yang membela dua daerah itu menjadi berkah bagi masyarakat. Hampir setiap hari terkumpul uang retribusi dari pengangkutan pasir dan batu. Retribusi itu dipungut secara bergantian dari dua kelurahan tersebut.

"Hari ini giliran dari Nunu, besok giliran Tavanjuka. Tapi sekarang tidak ada lagi," cerita Nasir.

Menurut Nasir, budaya masyarakat Kaili, salah satu etnis terbesar di Sulawesi Tengah, merupakan budaya yang terbuka.

Dalam struktur budaya masyarakat Kaili tidak mengenal yang namanya budaya brutal, saling perang dan tidak patuh kepada pemimpin.

Budaya masyarakat Kaili sangat menjunjung tinggi penghormatan kepada orang yang dituakan (to tua) dan budaya musyawarah mufakat.

"Orang tua kami selalu mengajarkan kalau ada masalah diselesaikan dengan cara duduk bersama. Bukan dengan tindakan brutal," kata Nasir.

Seiring dengan berjalannya waktu dan banyaknya masalah di masyarakat, budaya itu kini mengalami pergeseran.

Masyarakat yang masih kuat pertalian darahnya, hubungan kekerabatannya dan masih dalam rumpun etnis yang sama, belakangan berubah menjadi amarah. Sedikit saja persoalan anak muda, langsung meledak menjadi konflik besar dengan mengangkat senjata tajam.

Nasir dan Lurah Nunu mengakui akibat konflik tersebut cara pandang masyarakat luar terhadap Nunu berubah. Nunu dan Tavanjuka seakan-akan menjadi pusat brutalisme.

"Makanya dengan deklarasi damai ini, kami ingin mengembalikan citra masyarakat kami menjadi masyarakat yang santun, bukan masyarakat brutal," kata Irsan.

Nasir mengatakan, setidaknya ada beberapa aspek yang bisa menjadi perekat perdamaian warga tersebut yakni sama-sama satu etnis Kaili dengan sub etnis Kaili Ledo.

Warga juga sudah kawin mawin antar Nunu dan Tavanjuka. Dua daerah ini juga daerah bertetangga.(A055)