Tolak Bala Melalui "Pompaura Posunu Rumpu"

id adat, kaili

"Pompaura posunu rumpu" adalah acara adat Kaili bertujuan untuk menyembuhkan segala macam penyakit atau bala yang dilakukan secara massal setiap dua tahun sekali. Kaili adalah etnis terbesar di Sulawesi Tengah yang menetap di Lembah Palu.

"Pompaura" adalah bahasa Kaili yang berati mengembalikan, "posunu" adalah menyingkirkan atau membersihkan, sedangkan "rumpu" bermakna rumput atau kotoran. Jadi, "pompaura posunu rumpu" bisa diartikan membersihkan atau menyingkirkan kotoran atau hal tidak baik dan dikembalikan kepada pemiliknya, entah itu pemilik berwujud nyata atau gaib.

Sore itu, sesekali suara deru pesawat terbang yang hendak turun atau lepas landas terdengar memekak telinga. Saat itu pula, ratusan warga Kaili di pinggiran Kota Palu menggelar ritual adat "pompaura posunu rumpu".

Warga mengikuti ritual secara seksama dengan memperhatikan tokoh adat pemimpin acara yang berlangsung di perkampungan yang berada tidak jauh dari Bandara Mutiara SIS Al Jufri Palu.

Ritual itu dimulai dari pengambilan air dianggap suci dari sebuah sumur Mebere kemudian dituang ke dalam cawan besar yang bisa diangkat oleh seorang pria. Dalam bahasa setempat prosesi ini disebut "wempa".

Cawan berisi air yang telah dibubuhi dengan mantra tertentu itu kemudian dibawa berkeliling halaman sebuah rumah kayu yang sebenarnya bisa dikatakan gubuk karena terbuat dari kayu beratap dedaunan kering.

Seorang pria berumur 50-an tahun menuruni anak tangga keluar dari gubuk itu sambil membawa seikat dedaunan dan mencelupkannya ke dalam cawan tadi.

Pria yang akrab dipanggil Makko itu kemudian memercikkan air celupan itu kepada arah warga yang berdiri dan telah menunggu prosesi itu.

Warga sengaja menundukkan kepala agar menerima percikan air suci itu dengan harapan segala kotoran atau benih kesialan lainnya yang mungkin hinggap bisa tersingkirkan.

Seperti yang diakui Arwan yang telah mengikuti ritual itu beberapa kali, dia berharap kesehatan kerap menaungi dirinya melalui ritual itu namun tentu saja atas izin dan kuasa Tuhan.

Prosesi pemercikan air itu dilakukan secara merata dengan mengitari warga yang ada. Sementara, dua sesepuh adat lainnya berjabat tangan sambil menari berkeliling mengikuti irama tabuhan kendang.

Sambil menari berkeliling, dua orang itu mengeluarkan teriakan-teriakan dalam bahasa Kaili. Sesekali mereka melompat seiring alunan musik.

Setelah beberapa kali putaran, pemimpin upacara masih terus memercikkan air suci sambil melangkah menuju tempat terbuka lainnya untuk melakukan prosesi lainnya. Seorang lainnya mencipratkan beras kuning ke berbagai sambil terus berjalan.

Taburan beras kuning dan percikan air suci itu diharapkan bisa menolak segala bala, penyakit fisik atau hal buruk lain yang tak kasat mata.

Sesampainya di tanah lapang, warga telah berkumpul dan duduk rapi di tikar. Di depan kelompok orang itu terdapat tancapan kayu yang masih ada dahan dan tangkai berikut dedaunan yang masih menempel. Hari mulai senja, matahari mulai redup, seolah tenggelam ditelan bumi.

Beberapa pria naik pohon tiruan dan mengikatkan aneka rupa makanan, seperti ketupat, burasa (sejenis lontong berbentuk persegi dengan rasa gurih), telur, daging, dan sebagainya yang bisa disantap.

Selama beberapa saat aneka santapan itu digantung dan berayun-ayun tertiup angin senja. Sesajian itu sengaja diserahkan kepada alam dan para leluhur dengan harapan acara tolak bala itu mendapat restu.

Setelah dirasa cukup, aneka sesajian itu diturunkan dan dibagikan kepada warga yang setia mengikuti segala proses ritual adat itu. Mereka menyantap dengan lahapnya, dengan harapan sesajian itu mampu membawa berkah.

Sesajian itu berasal dari warga yang secara suka rela memberikannya untuk disantap.

Singkirkan

Masyarakat Kaili meyakini berbagai jenis bencana, penyakit, atau petaka buruk lain bisa menimpa manusia kapan saja. Berbagai hal buruk atau potensi negatif lainnya itu bisa disingkirkan melalui upacara "pompaura posunu rumpu".

Sesepuh adat Kaili yang tinggal di Kelurahan Lasoani, Baharuddin, mengatakan ritual adat itu bisa mencegah hal-hal yang kurang baik agar tidak terjadi di sebuah daerah.

Banyak warga berpenyakitan atau yang berharap kebaikan lainnya bisa mengikuti "pompaura posunu rumpu". Olehnya, tak heran, ritual adat itu selalu diikuti ratusan orang.

"Pompaura posunu rumpu" sendiri telah ada sejak ratusan tahun silam, sebelum agama Islam banyak dipeluk masyarakat Kaili. Kini upacara adat itu masih dipertahankan, meski hanya sejumlah daerah saja yang melaksanakannya.

Burhanuddin mengatakan "pompaura posunu rumpu" merupakan upacara adat yang terus dilakukan mengingat semakin banyak tindakan manusia yang menyimpang sehingga menimbulkan malapetaka.

Perkembangan jaman juga turut memicu penyakit sosial di masyarakat, meningkatnya kasus korupsi, atau perbuatan lain yang tidak ramah lingkungan.

"Pompaura posunu rumpu" sendiri merupakan ritual sarat makna yang bisa dilakukan sepanjang masih ada penyakit di tengah-tengah masyarakat.

Saat ini sejumlah tokoh masyarakat, pejabat dan mantan pejabat di Provinsi Sulawesi Tengah tersangkut kasus dugaan korupsi dan telah ditetapkan sebagai tersangka, seperti Ketua Partai Demokrat Palu, mantan Bupati Donggala, Sekretaris Provinsi Sulawesi Tengah, mantan Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Parigi Moutong, dan sejumlah orang lainnya.

Masyarakat berharap "penyakit-penyakit" itu bisa musnah, salah satunya melalui "pompaura posunu rumpu" dengan tidak mengenyampingkan tugas aparat penegak hukum.(skd)