Pembantu Raja Yang Jadi "Raja" Bawang

id mbok, sri

Pembantu Raja Yang Jadi "Raja" Bawang

Mbok Sri memamerkan dagangannya. (FOTO ANTARA/Riski Maruto/13)

Kini, omzetnya berkisar Rp15 juta hingga Rp20 juta per hari, dari bisnis penjualan bawang goreng dan aneka cemilan khas Kota Palu lainnya.

Namun siapa sangka, Mbok Sri yang kini sukses sebagai pengusaha bawang goreng dan abon daging itu dulunya adalah seorang pembantu rumah tangga dengan gaji Rp2.000 per bulan pada akhir 1970-an.

Awal kedatangan Mbok Sri dari Yogyakarta ke Sulawesi Tengah pada 1969 adalah untuk menjadi pembantu Raja Kaili bernama Daeng Maraja Lamakarate yang ada di Kabupaten Donggala.

Kaili adalah suku terbesar di Sulawesi Tengah yang ada di Kabupaten Sigi, Kota Palu, Kabupaten Donggala, serta sebagian di Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Poso.

Awal mula kedatangan perempuan bernama lengkap Hardjo Sriyono ini adalah dari perkenalannya dengan putra Raja Kaili yang kala itu sedang sekolah di Yogyakarta.

Saat itu, sang putra raja sering kehabisan uang untuk kebutuhan studi atau keperluan hidup sehari-hari. Kala itu belum ada sistem transfer uang via bank. Telepon atau alat telekomunikasi canggih lainnya yang bisa menghubungkan Yogyakarta dan Sulawesi Tengah berjarak ribuan kilometer juga belum ada. Mbok Sri kerap meminjamkan uang kepada sang putra raja untuk demi keperluan sekolah.

Olehnya, keberadaan Mbok Sri pada waktu itu sangat berjasa bagi sang putra Raja Kaili. Kemudian Mbok Sri yang saat itu berusia 37 tahun diajak ke Sulawesi Tengah untuk mengabdi kepada keluarga raja. Mbok Sri pun menyanggupinya demi membantu perekonomian keluarganya.

Kerajaan di Sulawesi Tengah tidak seperti yang ada di Pulau Jawa dengan keraton dan daerah kekuasaan yang luas. Namun kerajaan itu berupa bangunan rumah panggung dari kayu dengan luas ratusan meter persegi yang dikenal dengan Sou Raja atau rumah mbaso yang berarti rumah besar. Di situlah hidup Raja Kaili bersama keluarganya.

Mbok Sri bersama seorang anak perempuannya mengabdi di kediaman Raja Kaili sekitar dua tahun. Beberapa tahun berikutnya, ia menjadi pembantu di rumah dua pekerja asal Inggris yang saat itu sedang mengerjakan proyek pengairan Gumbasa.

Pada mulanya kedua orang bule itu sudah berusaha mencari pembantu namun tak kunjung berhasil hingga akhirnya bertemu Mbok Sri. "Mungkin calon pembantu lain takut karena tidak bisa bahasa Inggris atau dijajah lagi," kenang Mbok Sri yang sebenarnya juga tak mahir berbahasa Inggris.

Mbok Sri sendiri memberanikan bekerja pada orang bule itu karena semasa kecilnya dia juga pernah bekerja pada seorang Belanda di Yogyakarta, tetap sebagai pembantu. Kepindahan Mbok Sri juga sudah mendapat restu dari Raja Kaili.

Sembunyi-sembunyi

Saat bekerja di kediaman orang bule di wilayah Bumi Nyiur atau sekarang di Jalan S Parman Kota Palu, Mbok Sri sering memiliki waktu luang. Kedua bule itu meninggalkan rumah dari pagi hingga sore hari.

Di saat waktu luangnya itu, Mbok Sri dan anaknya mencoba membuat abon daging sapi serta bawang goreng beberapa toples.

Hasil buatannya ia tawarkan dari rumah ke rumah, kantor ke kantor, dan dari sepanjang jalan yang dilewatinya.

Proses membuat bawang goreng secara diam-diam itu ia lakoni selama sekitar lima tahun, hingga akhirnya dua bule majikannya pulang ke Inggris karena proyek irigasi Gumbasa telah selesai pada 1980.

Mulai saat itu, perempuan yang sekarang berusia 81 tahun menekuni bisnis dengan modal simpanan dan pesangon dari bule sebesar Rp200 ribu.

Dengan perjuangan dan keuletan, bawang goreng buatan Mbok Sri mulai dikenal, dan usahanya mulai berkembang.

Saat itu, masyarakat Palu dan sekitarnya belum mengetahui kalau bawang merah di daerahnya memiliki cita rasa gurih dan garing jika dibuat bawang goreng.

Bawang merah asal Palu memiliki umbi kecil sehingga lebih keras dan sangat cocok dibuat bawang goreng, sedangkan bawang merah biasa cepat layu jika digoreng.

Mbok Sri juga mengklaim dirinya sebagai pelopor pembuat bawang goreng di Sulawesi Tengah. Ia membuat bawang goreng sejak 1979.

Seiring perkembangan jaman, pembuat bawang goreng di Palu sekarang kian bertambah. Aneka variasi dan rasa bawang goreng bermunculan. Saat ini ada seratusan pelaku usaha kecil menengah (UKM) pembuat bawang goreng di Kota Palu.

Mbok Sri mengaku tak gentar melihat persaingan itu. Ia tetap mempertahankan kualitas bawang goreng dengan secara berkala mengganti minyak sayur agar oleh-oleh khas Palu itu tetap terjaga rasa dan kualitasnya.

Harga bawang goreng Mbok Sri saat ini Rp50 ribu per 200 gram. Bawang goreng tersebut mampu bertahan hingga beberapa bulan tanpa diberi bahan pengawet.


Pekerja lokal

Hampir separuh hidupnya Mbok Sri mengabdi untuk Keraton Yogyakarta dan Raja Kaili, kemudian berakhir di kediaman Dunlop dan Branley asal Inggris.

Kini Mbok Sri sudah memiliki rumah dan tempat usaha bawang goreng dan aneka oleh-oleh lainnya dengan nilai lebih Rp1 miliar.

Padahal saat pertama kali datang ke Sulawesi Tengah, dia tidak membawa bekal berarti, kecuali resep membuat bawang goreng atau abon daging sapi yang diperolehnya saat mengabdi di Keraton Yogyakarta.

Mbok Sri saat ini memiliki 25 pekerja yang senantiasa membantunya. Semua pekerja itu layaknya pengabdi kepada raja, yakni raja bawang goreng yang telah mendapat sederet penghargaan dari tingkat lokal hingga nasional terkait UKM yang digelutinya. (skd)