Pelopor Abon Yang Tak Doyan Abon

id abon, mbok sri

Pelopor Abon Yang Tak Doyan Abon

Mbok Sri memamerkan dagangannya. (FOTO ANTARA/Riski Maruto/13)

Abon daging sapi kini mudah ditemui di berbagai tempat di Kota Palu atau daerah lainnya di Sulawesi Tengah sebagai salah satu oleh-oleh.

Namun sekitar 38 tahun silam, masyarakat Kota Palu tidak mengenal apa yang disebut abon.

Abon adalah makanan berbahan daging rebus yang diserat-seratkan, dibumbui, kemudian digoreng.

Mbok Sri adalah perempuan asal Yogyakarta yang mengklaim dirinya sebagai pelopor pembuat abon daging sapi di Kota Palu.

Dia mengaku membuat abon daging sapi pertama kali pada 1975. Saat itu dia menjadi pembantu rumah tangga di rumah dua orang Inggris yang sedang bekerja di proyek irigasi Gumbasa di Kabupaten Sigi.

Perempuan bernama lengkap Hardjo Sriyono itu sebenarnya datang ke Sulawesi Tengah pada 1969. Saat itu dia mengabdi kepada majikannya yang merupakan Raja Kaili bernama Daeng Maraja Lamakarate.

Setelah beberapa tahun mengabdi di Raja Kaili, ada dua pria berkebangsaan Inggris mencari pembantu rumah tangga.

Dua bule bernama Dunlop dan Branley itu tidak mendapatkan pembantu setelah mencari ke berbagai tempat, hingga akhirnya mereka menemukan Mbok Sri.

Setelah mendapatkan izin dari Raja Kaili, Mbok Sri mengabdi kepada orang bule tersebut dengan gaji Rp20 ribu per bulan atau 10 kali lipat dari gaji sebelumnya.

Setiap hari dua bule itu bekerja sejak pagi hingga sore di lokasi proyek Gumbasa, sehingga Mbok Sri merasa rugi jika tidak memanfaatkan waktu luangnya setelah ia menyelesaikan pekerjaan rumah.

"Saya mulai membuat bawang goreng dan abon daging sapi di waktu luang," kata Mbok Sri yang pernah mendapatkan juara I Adibakti Minabahari oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan pada Desember 2012.

Penghargaan itu adalah untuk pelaku usaha industri kecil yang dikelola profesional, skala produksi lumayan, rantai produksi rapi dan bersih, serta hasilnya pun enak.

Mbok Sri juga pernah dikunjungi mantan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Paku Alam IX, karena dinilai sukses di perantauan dan bisa meningkatkan pereknomian masyarakat sekitar.



Menabung emas

Dengan upah Rp20 ribu per bulan, Mbok Sri membeli perhiasan emas seberat 10 gram.

"Tiap bulan saya belikan emas dan saya simpan. Kalau makan saya bisa seadanya, ngikut dengan majikan," katanya.

Dengan modal itulah, Mbok Sri mulai belanja bawang goreng dan daging sapi di Pasar Bambaru atau yang biasa dikenal Pasar Tua. Dia berjalan kaki dari rumah ke pasar yang jaraknya sekitar lima kilometer. "Uang untuk naik dokar saya belanjakan sayur dan lauk," katanya.

Suatu ketika pada 1980, dua insinyur asal Inggris itu akan pulang ke negaranya karena pekerjaannya telah selesai. Mereka meminta Mbok Sri untuk turut ke Inggris karena dinilai pekerjaan rumahnya memuaskan majikan.

Tanpa pikir panjang, dia menolak ajakan itu karena selain Inggris adalah negeri yang jauh, negara tersebut juga memiki cuaca berbeda dibandingkan Indonesia. "Saya takut dingin," katanya polos.

Namun, sebagai ucapan terima kasih, kedua orang Eropa itu memberikan Rp200 ribu kepada Mbok Sri. Uang sebesar itu sangat berharga bagi Mbok Sri.

Setelah pembangunan saluran irigasi Gumbasa selesai pada 1980, Mbok Sri juga turut kehilangan pekerjaannya sebagai pembantu rumah tangga.

Dengan keterampilan dan sisa upah yang dimilikinya, Mbok Sri mengembangkan usaha pembuatan bawang goreng dan abon daging sapi.

Selanjutnya dia hidup dengan numpang di samping rumah H Masmudin di Jalan S Parman, Palu.

Pada awalnya, istri seorang polisi ini hanya mampu membeli 10 kilogram daging sapi dan seikat bawang merah.

Daging seberat 10 kg diolahnya menjadi empat toples yang masing-masing seharga Rp5.000,00. Sedangkan seikat bawang merah bisa diolah menjadi lima toples bawang goreng. Satu toples bawang goreng dijual Rp2.000,00.

Setiap hari dia berkeliling menjajakan abon daging dan bawang goreng. Dari instansi ke instansi dia masuki sambil membawa dua toples abon di lengan kiri dan dua toples bawang goreng di tangan kanan.

Orang Palu saat itu tidak mengenal abon daging. "Makanan apa ini mbok? Kok aneh," kata warga yang ditawari abon oleh Mbok Sri saat itu.

Dengan kesabaran, perempuan yang lahir pada 2 Mei 1932 itu menjelaskan apa yang dimaksud abon beserta cara pembuatannya.



Belajar dengan melihat

Kemampuan Mbok Sri membuat abon daging sapi diperoleh ketika dia mengabdi di Kesultanan Yogyakarta. Saat masih berusia belasan tahun, perempuan yang memiki empat anak ini kerap memperhatikan juru masak keraton Yogyakarta bekerja.

Saat itu dia memperhatikan tukang masak memotong daging seukuran dadu kemudian direbus, setelah itu diolah menjadi makanan lembut berwarna cokelat.

Dia kemudian tanya kepada salah satu juru masak, ternyata itu masakan itu adalah abon daging.

Dengan pelajaran yang didapat sewaktu kecil akhirnya dia memraktikannya di Kota Palu, yakni membuat abon daging sapi.

Dengan keuletan yang ditekuninya, akhirnya masyarakat mulai mengenalnya. Konsumen mulai berdatangan ke rumahnya. Mbok Sri pun mulai mengurangi jadwal keliling menjajakan dagangan, dan fokus bekerja di rumah.

Selain abon daging sapi, Mbok Sri juga membuat abon ikan. Mbok Sri sendiri juga dikenal sebagai pelopor bawang goreng khas Kota Palu.

Hingga saat ini Mbok Sri telah memiliki rumah sekaligus tempat usaha bawang goreng dan abon daging yang nilainya lebih dari Rp1 miliar.

Setiap hari, dia mengaku memiliki omzet sekitar Rp15 juta per hari.

Setiap pekan Mbok Sri mengaku membutuhkan 140 kilogram daging sapi untuk diolah menjadi abon, dan 110 kilogram ikan laut per empat hari sekali.

Mbok Sri juga memiliki 25 karyawan, dan sering mengikuti pameran dan narasumber dalam sebuah seminar.

Saat ini dia sedang mengajukan sertifikat kelayakan pengolah usahanya. Dengan adanya sertifikat itu akan turut meningkatkan daya saing serta lebih membuka peluang pemasaran yang lebih luas. Saat ini terdapat seratusan pengusaha abon di Sulawesi Tengah dengan anek rasa dan kemasan. Persaingan bisnis tersebut juga kian menggairahkan.

Mbok Sri yang saat ini akan membuka toko yang lebih besar mengaku tidak doyan menyantap abon daging. "Saya sudah kenyang menghirup aroma abon. Biarlah kelezatannya dinikmati orang lain," kata Mbok Sri yang masih sering melayani pembeli meski jalannya tertatih-tatih karena umurnya yang sudah renta. (skd)