Jakarta
(antarasulteng.com) - Filsuf Karlina Supelli berbagi siasat untuk menangkal
kerakusan konsumerisme yang sedang melanda Indonesia saat menyampaikan
pidato kebudayaan tahunan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada Senin
(11/11).
Saat menyampaikan pidato berjudul
"Kebudayaan dan Kegagapan Kita" di Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki,
pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu mengatakan kebudayaan
hilang bukan karena evolusi
melainkan ketamakan manusia yang menjarah ruang-ruang hijau untuk
membangun pusat-pusat bisnis dan gaya hidup.
Karlina
lantas panjang lebar memaparkan bagaimana hutan Kalimantan sebagai pusat
kebudayaan suku Dayak nyaris punah dijamah kebutuhan masyarakat kota,
juga bahwa Indonesia kini terjebak arus konsumerisme yang merupakan sisi
lain dari globalisasi.
Perempuan berusia 55 tahun itu juga memaparkan data yang menunjukkan bahwa Indonesia memiliki indeks kepercayaan konsumen tertinggi di antara 58 negara Asia Pasifik, Amerika Utara, Eropa dan Timur Tengah.
Selain itu ia
menuturkan bagaimana masyarakat Indonesia, yang termasuk 10 besar
kelompok pengguna Internet terbanyak, justru kehilangan waktu untuk
memikirkan masalah yang nyata karena 95 persen dari pengguna Internet
hanya aktif untuk media sosial.
Namun
peningkatan daya beli dan penggunaan teknologi dalam masyarakat
tersebut, menurut dia, tidak berbanding sejajar dengan peningkatan
kesejahteraan masyarakat, perbaikan kesehatan dan pendidikan.
Kondisi itu membuat Karlina dan tim diskusi Dewan Kesenian Jakarta
merumuskan delapan siasat guna mencegah konsumerisme yang kian rakus
dan bukan tidak mungkin akan membuat hutan dan kearifan lokal Indonesia
punah dalam beberapa puluh tahun mendatang.
Berikut delapan siasat yang disarankan Karlina untuk menangkal konsumerisme:
Pertama, para budayawan dan intelektual bertugas menghidupkan kembali pemikiran yang berakar pada perenungan yang mendalam.
Menurut Karlina ruang publik kini sudah terlalu gaduh dengan komentar di media sosial. "Siapa saja yang bisa menjadi pakar apa saja...menganggap sepele persoalan serius yang menjadi perbincangan."
Menurut Karlina ruang publik kini sudah terlalu gaduh dengan komentar di media sosial. "Siapa saja yang bisa menjadi pakar apa saja...menganggap sepele persoalan serius yang menjadi perbincangan."
Kedua, mentransformasikan konsep ekonomi dari urusan pasar ke mata pencaharian warga biasa.
"Para
ahli pangan harus menyusun siasat untuk menarik minat anak muda
menekuni ilmu pertanian dan perikanan yang kian sepi peminat. Tentu
dengan cacatan sesudah lulus mereka tetap bekerja dibidangnya, bukan
beralih ke sektor finansial."
Ketiga,
mentransformasikan sikap yang terkesan mencitrakan ilmu sebagai
satu-satunya model pengetahuan ke sebuah upaya untuk mencari kebenaran.
"Kesan
bahwa ilmu pengetahuan mau menindas pengetahuan lain masih cukup kuat
di masyarakat...ilmu belum berhasil mengambil hati masyarakat."
Keempat, ciptakan kepemimpinan sebagai etos tanggung jawab bukan kekuasaan.
"Dia
tidak dapat membuang tanggung jawab ke kekuatan adidunia dan membawa
Tuhan untuk menjelaskan bencana akibat kelalaian manusia, bukankah
bencana akibat salah kelola lingkungan lalu sering dianggap sebagai
akibat Tuhan yang murka?"
Kelima, jadikan kebiasaan berbelanja bukan karena kita ingin melainkan karena kita perlu.
"Kebiasaan
ini mendidik hasrat pada gilirannya akan membantu kita pahami perbedaan
antara warga negara dan konsumen. Konsumen meningkatkan kenyamanan
pribadi, warga negara menyumbang untuk kepentingan bersama."
Keenam, bangun kebiasaan berbicara benar di masyarakat.
"..membangun
kebiasaan baru agar kebiasaan mencontek, plagiat, mencuri uang negara
berubah menjadi hidup dengan integritas dan berkata benar."
Ketujuh, menjadi profesional.
"Seseorang
disebut profesional bukan karena dia pakar di bidangnya, melainkan
karena menjadikan keahliannya sebagai sumbangan hidup bersama."
Kedelapan, latih anak-anak kita untuk berkomitmen.
"Kalau
mereka hanya suka menonton TV, kita latih mereka membaca. Ciri
kematangan seseorang adalah bukan karena dia sanggup melaksanakan
pekerjaan yang dia sukai melainkan karena komitmen."
Setelah
berpidato selama 98 menit di hadapan sekitar seribu tamu undangan,
perempuan yang meraih gelar doktor filsafat dari Universitas Indonesia
tahun 1997 itu mengatakan,"Terima Kasih saudara-saudari sangat sabar
mendengarkan, saya haturkan pidato kebudayaan ini untuk kaum muda
Indonesia."