Jakarta (ANTARA) - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 224 pengaduan yang terkait dengan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2020-2021.
"Pengaduan PPDB 2020 ini terjadi peningkatan. Karena tahun lalu kami menerima 95 pengaduan dari 37 wilayah. Kali ini, kami menerima pengaduan memang jumlahnya meningkat tajam, yaitu 224 pengaduan dibanding tahun lalu yang 95," kata Komisioner Bidang Pendidikan KPAI Retno Listyarti dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) secara daring yang membahas hasil pengawasan dan pengaduan PPDB 2020, di Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan bahwa total 224 pengaduan tersebut terdiri dari 200 kasus atau setara dengan 89 persen pengaduan yang berasal dari DKI Jakarta, 24 kasus atau 11 persen dari Kabupaten Sidoarjo, Pasuruan dan Kota Malang di Jawa Timur masing-masing hanya 1 kasus, Kota Tangerang, Banten, 3 kasus dan Bantul di DIY 1 kasus.
Berikutnya, KPAI juga menerima pengaduan dari Kota Bekasi, Kota Bogor dan Kota Bandung di Jawa Barat masing-masing 5, 2 dan 1 kasus, Kota Semarang, Jawa Tengah, sebanyak 2 kasus, Pekanbaru, Riau 2 kasus, Medan, Sumatera Utara, hanya 1 kasus, Kota Padang di Sumatera Barat 1 kasus, Kabupaten Buleleng di Bali 1 kasus dan Kota Makassar di Sulawesi Selatan juga 1 kasus.
Kemudian, Retno mengatakan bahwa pengadu yang melakukan konsultasi terkait permasalahan PPDB berasal dari berbagai daerah, di antaranya adalah Lampung, Palangkaraya, Kota Surabaya, Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Bogor.
Berdasarkan jenjang pendidikannya, pengaduan-pengaduan tersebut terdiri dari jenjang SD sebanyak 4 kasus atau 1,8 persen, jenjang SMP sebanyak 72 kasus atau 32,2 persen dan jenjang SMA paling banyak dengan jumlah kasus hingga 148 atau setara 66 persen.
Pengaduan-pengaduan tersebut, kata Retno, didominasi oleh masalah kebijakan dengan jumlah kasus sebanyak 209 atau 95 persen, disusul pengaduan terkait masalah teknis sebanyak 11 kasus atau 5 persen, dan ada juga 3 pengaduan yang terkait kasus dugaan kecurangan dalam PPDB berupa pemalsuan dokumen domisili dan ada 1 kasus dugaan jual beli kursi di jenjang SMA.
Keberatan orang tua
Adapun masalah kebijakan yang diadukan di antaranya adalah bahwa pengadu keberatan dengan ketentuan jalur prestasi yang dibuka setelah jalur zonasi dan afirmasi.
Kemudian, ketentuan persentase jalur prestasi, ketentuan penggunaan kriteria usia dan ketentuan domisili yang harus satu tahun sebelumnya berdomisili di daerah tersebut juga masuk dalam salah satu pengaduan.
Ada juga beberapa pengaduan yang terkait dengan dugaan kecurangan pemalsuan dokumen domisili yang berasal dari kota Semarang, Kota Pekanbaru dan Kabupaten Buleleng.
Selain itu, KPAD Tapanuli Utara juga menerima pengaduan masyarakat yang terkait dengan dugaan kecurangan PPDB di salah satu SMA karena tidak adanya petunjuk teknis (juknis) PPDB di kabupaten Tapanuli Utara, kecuali diberikan petunjuk ketentuan PPDB dengan menggunakan parameter jarak, sistemnya juga manual, tidak daring.
"Menurut pengadu, sejak awal pihak sekolah tidak memberitahu adanya parameter nilai dalam zonasi secara resmi. Ada dugaan, penggunaan parameter nilai secara terselubung adalah praktik jual beli kursi. Belakangan kasus ini diselesaikan secara musyawarah," katanya.
Sementara itu, pengaduan-pengaduan yang muncul terkait masalah teknis di antaranya adalah adanya kesulitan login dan calon peserta didik terlambat mendaftar PPDB.
Ada juga kekeliruan mengisi data pendaftar, seperti mengisi asal sekolah, kekeliruan mengisi jalur yang seharusnya jalur regular menjadi jalur afirmasi, kekeliruan mengisi keterangan fisik, menjadi cacat fisik padahal kenyataannya tidak, ada juga kesulitan login yang mengakibatkan anak terlambat didaftarkan.
Kemudian, ada juga orang tua yang tidak paham cara mendaftar PPDB secara daring karena gagap teknologi (gaptek), server PPDB lamban dan verifikasi lambat karena verifikator kesulitan membaca hasil scan data pendaftar yang dikirim ke server.
Zonasi vs usia
Adapun pengaduan dari DKI Jakarta sebagian besar berkaitan dengan keberatan atas kriteria usia. Banyak orang tua yang berkeluh kesah kepada KPAI dan menceritakan kesedihan mereka karena anak-anak mereka terpukul secara psikologis karena tidak diterima di semua sekolah negeri pada jalur zonasi karena usianya muda. Padahal rumah mereka sangat dekat dengan sekolah yang dituju.
Sementara itu, Retno juga mencatat kasus di Cipinang Muara yang anaknya tidak diterima di semua SMPN yang menjadi zonasinya karena faktor usia. Padahal di zona dekat tempat tinggalnya itu tersedia 24 sekolah.
Anak pengadu berusia 12 tahun 5 bulan 5 hari saat mendaftar. Dari penjelasan Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang diterima KPAI menyebutkan bahwa anak yang diterima di zonasi SMP Cipinang Muara usia tertua adalah 14 tahun 11 bulan, dan termuda 12 tahun 5 bulan 8 hari.
Sementara usia normal masuk SMP sesuai dengan wajib belajar SMP adalah 13 tahun. Jadi usia yang diterima masih dalam batas normal. Artinya, anak-anak yang diterima masih anak usia sekolah di bawah usia maksimal yang dipersyaratkan dalam peraturan pemerintah, demikian kata Retno.*
Berita Terkait
Dinas Pendidikan Jatim siapkan 754 operator untuk PPDB SMA/SMK 2024
Selasa, 5 Maret 2024 8:20 Wib
Mahkamah Konstitusi tolak gugatan uji materi soal pelarangan sistem PPDB zonasi
Kamis, 28 September 2023 5:42 Wib
Kepsek SDN Cibeureum 1 diberhetikan karena pungli saat PPDB 2023
Rabu, 13 September 2023 13:48 Wib
Salah kaprah PPDB berbasis zonasi
Kamis, 13 Juli 2023 8:45 Wib
DPRD: laporkan jika oeserta PPDB Surabaya diperlakukan tidak adil
Sabtu, 26 Juni 2021 9:29 Wib
Ombudsman Sumut sarankan pengumuman hasil seleksi PPDB diundur
Senin, 14 Juni 2021 21:14 Wib
Dinas Disdik Kepri minta semua pihak ikuti aturan PPDB yang berlaku
Senin, 14 Juni 2021 5:16 Wib
Gubernur Sulsel minta kuota PPDB untuk siswa penghafal Al Quran
Senin, 7 Juni 2021 19:42 Wib