Nalar Islam Nusantara dan integritas bangsa

id Islam Nusantara,Wahabi

Nalar Islam Nusantara dan integritas bangsa

Ilustrasi (dok.histografiislam)

Seharusnya, umat Islam bangga menjadi muslim Nusantara yang mampu hidup damai dalam pluralitas bangsa dan mampu merawat integrasi bangsa dalam segala perbedaan dengan merujuk pada muara kebangsaan, yaitu Pancasila dan UUD 1945 sebagai konsesus yang d
Akhir-akhir ini masyarakat muslim Indonesia banyak “ribut” mempertanyakan eksistensi Islam Nusantara. Tidak sedikit dari umat Islam lantang mengeritik konsep Islam Nusantara tanpa melakukan 'tabayyun' kepada ahlinya. 

Dalam ketidakpahamannnya, beberapa publik figur melalui siaran televisi melontarkan pernyataan penolakan yang cenderung menghina dan membenci konsep Islam Nusantara, sehingga meresahkan umat Islam dalam berislam. Padahal Islam Nusantara sudah terwujud dan dinikmati dalam realitas keseharian mereka. 
Jika bertabayyun, kyai dan tokoh NU sebagai pioner pengagas Islam Nusantara yang konsen dengan kajian akademik tentang Islam Nusantara sudah banyak menerbitkan buku dan artikel ilmiah untuk dijadikan rujukan memahami konsep dan implementasi Islam Nusantara sesuai konteks lokalitas bangsa dan masyarakat Indonesia yang pluralistik.   

Islam Nusantara adalah suatu bentuk perwujudan dari lokalitas Islam dalam konteks keindonesiaan yang dapat pula terjadi di seluruh belahan dunia yang lain. Dari itu, Islam Nusantara dimaknai sebagai Islam Indonesia yang memiliki corak tersendiri, berwarna warni dan berbhineka dalam segala dimensi kehidupan, meminjam istilah Azra, yaitu Islam flowerish yang tidak ada tandingannya di belahan dunia manapun. 

Pluralitas agama dan budaya ini harus dirawat dan dilestarikan oleh seluruh anak bangsa secara sistematik, programatik, integrated, dan berkesinambungan. (Azyumardi Azra, 2007:18). 
Keragaman Islam Nusantara dapat dilihat dari berbagai aspeknya, mulai dari agama, etnisitas, budaya, bahasa, geografis, politik, status sosial, ekonomi dan pendidikan, dan tokoh-tokohnya (Ahmad Baso, 2015: ix).

Islam Nusantara sejatinya merupakan Islam hakiki, Ahlusunnah wal Jama’ah yang dipraktikkan di Indonesia, bukan mazhab, aliran dan sekte baru, tetapi lebih pada model Islam yang diperankan dan didialogkkan sesuai lokalitas kultur masyarakat Indonesia. 

Model Islam Nusantara mencakup tiga unsur yang saling terkait, yaitu; pemikiran, gerakan dan praktik beragama yang moderat (KH. Ma’ruf Amin). 

Islam sebagai agama rahmatullial’amin, universal dan kaffah merupakan nilai dasar yang harus didialogkkan dengan konteks realitas kehidupan masyarakat dan bangsa dimana Islam dibumikan. Meskipun secara doktrinal-teologis, Islam tetap satu sebagai agama Allah yang dipeluk oleh seluruh umat Islam di bumi ini. 
Namun, secara kultural-sosiologis, untuk menjawab segala problematika masyarakat di masing-masing wilayah, umat Islam menggunakan pendekatan dan metode yang berbeda dalam mendialogkan ajaran Islam sesuai lokalitas masyarakat di wilayahnya, sehingga melahirkan corak Islam yang saling berbeda antara satu benua dengan benua yang lain. 

Sebagai konsesus bersama bahwa Islam adalah agama yang diturunkan Allah pada Rasul-Nya, disebarkan oleh auliya Allah sampai Nusantara. Selanjutnya, muslim Indonesia mendialogkkannya dengan lokalitas keyakinan, agama dan budaya masyarakat Indonesia secara bijak dan adaptif, tidak membrangus lokalitas agama dan budaya masyarakat dengan aksi kekerasan, militerisme dan barbarisme, sehingga dapat eksis sampai hari ini. 

Upaya mendialogkan Islam sesuai lokalitasnya bertujuan mencari dan memberikan solusi atas segala persoalan keumatan dan kebangsaan di suatu bangsa termasuk di Indonesia. 

Islam secara teologis adalah doktrin keyakinan dan moral agama bagi umat Islam yang dijadikan jalan hidup prinsipil menuju keselamatan dunia-akhirat. Karena itu, normativitas ajaran Islam ini dijadikan pedoman mengkonstrusi segala aspek kehidupan umat Islam agar sistem, aturan, prilaku, tradisi dan artepak budaya yang dibangun senantiasa selaras dengan ajaran Islam. 

Selain itu, barbagai kultur yang terdapat dalam lokalitas umat Islam di Nusantara harus dijawab dengan mengacu pada ajaran Islam yang otoritatif agar makna Islam sebagai agama Kaffah tidak terdistorsi. Dalam konteks inilah, muslim Indonesia dalam waktu yang cukup panjang telah menunjukkan peran pentingnya dalam mendialogkan teks suci dengan berbagai problematika bangsa dan masyarakat Nusantara yang pluralistik dalam segala dimensinya.

Dengan potensi akal yang Allah karuniakan, muslim di berbagai belahan dunia berusaha memahami pesan teks al-Quran dan Hadis, kemudian dikonstruksi untuk merespons segala problematika kehidupan masyarakat sesuai dengan konteks waktu dan tempatnya. Dengan upaya inilah melahirkan konsep lokalitas Islam yang berbeda di berbagai negara dengan karakter khasnya. 

Karena itu, Islam Nusantara bukan dipahami sebagai perbedaan pada wilayah teologis, kitab suci, Rasulullah Saw, arah kiblat dan aspek eskatologis lainnya. Namun, lebih pada peran umat Islam dalam mendialogkkan ajaran Islam dengan corak lokalitas kultur masyarakat dan bangsa Indonesia yang mejemuk. 

Ending yang ingin dicapai dalam kontekstasi Islam Nusantara di tengah pluralitas agama dan budaya Indonesia, yaitu mampu menampilkan wajah Islam yang inklusif, toleran, moderat dan damai agar segala bentuk perbedaan selalu terjaga dalam bingkai integrasi bangsa di seluruh wilayah NKRI.

Banyak diantara muslim yang mengabaikan bahwa Islam hadir tidak berada dalam ruang hampa, tetapi senantiasa berdialog dengan lokalitas peradaban umat yang sudah hadir sebelum sebagaimana halnya Islam Nusantara. 

Ketika kita menyebut Islam Arab, maka silogisme berpikir sehat kita akan tertuju pada Islam hadir untuk menjawab problematika masyarakat Arab Jahiliyah. 

Ketika Islam pertama diturunkan di Arab, berhadapan dengan budaya Arab untuk merespon berbagai persoalan kultur dan praktik keberagamaan masyarakat Arab yang banyak menyimpang dari nilai-nilai profetik Ilahi dan nilai-nilai kemanusiaan. 

Kondisi peradaban Arab yang hancur; penyembah berhala, penindasan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, perdagangan dengan sistem kapitalis, perbuatan asusila merajela dan pembunuhan nyata pada kaum wanita terus terjadi saat itu. 

Hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa dilektika Islam dengan lokalitas suatu wilayah kemudian memunculkan istilah dan karakter khas Islam yang saling berbeda, ada istilah Islam Arab, Afrika, China, Eropa, Amerika sampai Islam Nusantara. 

Dalam konteks ini, Islam di berbagai belahan dunia dengan coraknya masing-masing ingin menegaskan bahwa umat Islam di setiap wilayah telah memainkan perannya menjawab realitas umat berdasarkan ajaran Islam yang kaffah melalui berbagai pendekatan dan metode yang mudah diterima dan diamalkan masyarakat sesuai konteks budaya bangsanya. 

Dari aspek tradisi beragama, muslim yang hidup di Nusantara penting memahami dialektika Islam dengan lokalitas budaya masyarakat Nusantara dalam rentang waktu yang sangat lama. 

Maka lahirlah tradisi beragama yang menghargai pendekatan kultural yang telah dilakukan oleh para Wali Songo dalam mendakwahkan ajaran Islam sampai mengakar kuat di tengah masyarakat, seperti acara tahlilan, berzanzi, maulid, syukuran kehamilan, ziarah makam dan banyak karya seni yang bernuasa islami. 

Pada aspek teologis, Islam Nusantara mampu melahirkan corak teologis yang moderat, yaitu teologi As’ariyah antara Muktazilah dan Jabariyah (tidak ekstrim dan pasrah). Pada aspek Fiqh mampu mengkonstruksi Fiqh toleransi yang moderat antara Hambali dan Hanafi untuk menyelesaikan setiap masalah praktik syariat yang muncul dalam tradisi keberagamaan umat Islam dan interaksinya dengan penganut agama lain.

Dari aspek politik, Islam Nusantara mampu mendamaikan relasi Islam dan Negara secara integratif dalam konteks kebangsaan yang majemuk, sehingga melahirkan konsep Negara Pancasila sebagai pemersatu yang dapat diterima oleh seluruh umat beragama, tidak sekuler dan tidak khilafah. 

Indonesia bahkan menjadi negara yang paling aman untuk berislam diantara negara-negara Arab sekalipun sebagai asal muasal Islam. Muslim Indonesia mampu melahirkan konsep hubbul wathon minal iman, Pancasila, nasionalisme, dan integrasi bangsa yang eksis hingga hari ini. 

Muslim yang menghormati simbol-simbol negaranya; falsafah negara, hormat bendera, ikut upacara, pemerintah yang sah dan bangga dengan budaya luhur bangsa Indonesia. Itulah sejatinya muslim Nusantara yang diharapkan oleh kontekstasi Islam Nusantara.

Seharusnya, umat Islam bangga menjadi muslim Nusantara yang mampu hidup damai dalam pluralitas bangsa dan mampu merawat integrasi bangsa dalam segala perbedaan dengan merujuk pada muara kebangsaan, yaitu Pancasila dan UUD 1945 sebagai konsesus yang dispakti oleh pusparagam umat manusia di Nusantara ini. 
Islam Nusantara akan tetap eksis selama umat Islam menjdi Muslim yang mampu mendialogkan ajaran Islam secara moderat dengan segala bentuk keragaman masyarakat Indonesia. Islam Nusantara tidak akan pernah bubar, apalagi prediksi manusia 2030 Indonesia akan bubar adalah ilusi semata.

Sebagai ikhtitam, semakin mampu muslim mendialogkan ajaran Islam dengan realitas kehidupan yang terdapat dalam lokalitas masyarakat, maka konsep dan eksistensi Islam Nusantara akan semakin menyejarah untuk menjawab prolematika masyarakat dan bangsa di bumi pertiwi ini. 

Sesungguhnya itulah muslim yang luas ilmunya dalam menginterpretasi ajaran Islam, sehingga tetap membumi secara moderat di tengah pluralitas kehidupan masyarakat Indonesia sepanjang masa. Model Islam moderat (wasathaniyah) seperti inilah yang ingin dibumikan melalui Islam Nusantara untuk integrasi bangsa dan keutuhan NKRI. Wallahu’alam.

(Saepudin Mashuri adalah dosen FTIK IAIN Palu dan Mahasiswa Program Doktoral Konsentrasi PAI Multikultural UNISMA Malang)