Kota Palu Sudah Harus Miliki "shelter" Oleh Riski Maruto

id syamsul maarif, bnpb

Kota Palu Sudah Harus Miliki "shelter" Oleh Riski Maruto

Kepala Badan Penanggulangan Bencana (BNPB), Syamsul Maarif. (antaranews)

Palu, (antarasulteng.com) - "Kota Palu rawan bencana banjir dan tsunami," kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Syamsul Maarif saat berkunjung ke Palu dan menggelar gladi bersih penanggulangan bencana nasional pada akhir November 2012.

Untuk mengatasi ancaman itu, katanya, tentu saja harus disiapkan langkah-langkah strategis selain latihan rutin.

Maarif mengatakan, di sekitar Teluk Palu akan dibangun sebuah tempat perlindungan bencana (shelter) jika terjadi gempa bumi besar yang menyebabkan tsunami.

Bangunan tempat penampungan itu dibuat sedemikian rupa hingga aman dari gempa bumi dan banjir namun letaknya tidak jauh dari lokasi rawan bencana.

Bangunan tersebut akan aman dari terjangan tsunami hingga ketinggian 12 meter.

Bangunan yang bisa menampung hingga 10 ribu orang itu letaknya mudah dijangkau siapa saja yang berada di sekitar Teluk Palu.

"Itu adalah bagian rencana tahun 2013, di sejumlah daerah di Indonesia yang rawan tsunami juga akan didirikan bangunan serupa," kata Maarif.

Kota Palu dan daerah Sulawesi Tengah adalah daerah rawan gempa karena dilewati sesar Palu Koro yang membentang hingga 800 kilometer di Selat Makassar.

Sesar aktif tersebut bergerak dengan kecepatan 1,7 cm per tahun sehingga suatu saat bisa terjadi gempa bumi besar dan dikhawatirkan bisa memicu tsunami.

Pada 1927 pernah terjadi gempa 6,5 Skala Richter dan memicu tsunami di Teluk Palu hingga ketinggian 15 meter.

Bencana tersebut menyebabkan 14 orang tewas dan ratusan rumah rusak parah.

Gempa bumi tidak bisa diprediksi dan tetap menjadi rahasia Tuhan. Manusia hanya bisa mempersiapkan diri guna mengantisipasi jatuhnya banyak korban jiwa.

Seperti tsunami di Aceh pada 2004 berkekutan 8,9 Skala Richter, sekitar 250 ribu jiwa melayang hanya dalam waktu sekitar enam menit.

Sampai sejauh mana orang bisa lari dalam waktu enam menit, sementara terjangan tsunami saat itu hingga mencapai enam kilometer.

Olehnya, pembangunan "shelter" diharapkan menjadi salah satu solusi tepat untuk mengurangi jumlah korban jiwa, kata Maarif.

"Tak perlu lari jauh, hanya masuk ke shelter dan diharapkan warga akan aman dari terjangan tsunami," kata Maarif.

Rambu evakuasi

Pemerintah Kota Palu sendiri telah membuat rambu-rambu evakuasi yang dipasang di sejumlah jalan yang berada di sekitar Teluk Palu.

Rambu persegi panjang berwarna cokelat itu bertuliskan jalur evakuasi disertai gambar ombak dan tanda panah yang mengarahkan ke titik aman.

Namun hingga saat ini warga belum jelas di mana tetak titik aman evakuasi ketika suatu saat tsunami benar-benar terjadi.

Namun jika dirunut secara seksama rambu petunjuk evakuasi tsunami itu mengarah ke Lapangan Vatulemo yang berjarak sekitar lima kilometer dari Palu.

Pembuatan rambu evakuasi itu didasari pengalaman pada tahun 2005. Saat itu Kota Palu dilanda gempa bumi berkekuatan 6,2 Skala Richter.

Ratusan warga saat itu berhamburan ke luar rumah sambil berlarian tak jelas ke mana arah yang dituju.

Saat itu ada pula hembusan isu yang mengatakan air laut akan naik, padahal pusat gempa sendiri berada di darat dan tidak menyebabkan tsunami.

Hal semacam ini yang harus diwaspadai, agar masyarakat tidak panik dan bisa menyelematkan diri dengan tenang, kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPPBD) Kota Palu Rahmat Kawaroe.

Untuk lebih mudah mengajak masyarakat agar mawas diri saat bencana melanda, Syamsul Maarif juga meminta kepada seniman lokal menciptakan lagu tentang mitigasi bencana untuk mengurangi dampak bencana yang ditimbulkan.

Lagu tersebut selanjutnya bisa diputar di radio-radio atau naskahnya dipampang di media massa agar masyarakat mudah menghafal dan memahami liriknya.

Dalam syair lagu tersebut bisa berisi tentang cara penyelamatan diri saat terjadi gempa bumi seperti menjauhi kaca, melindungi kepala, atau waspada ketika air tiba-tiba surut usai terjadi gempa besar.

Dia mengatakan untuk menghindari korban luka akibat bencana sebenarnya mudah.

"Kalau terjadi gempa bumi, carilah tanah luas dan lapang. Kalau terjadi tsunami segera cari tempat yang tinggi," katanya.

Dia berharap lagu-lagu itu bisa diciptakan dengan bahasa daerah masing-masing agar mudah dihapal dan dipraktikkan ketika suatu saat terjadi bencana alam.

Menurutnya, dengan adanya lagu berbahasa daerah tentang mitigasi bencana itu masyarakat semakin sadar dan tanggap ketika terjadi bencana.

Maarif juga meminta pemerintah daerah lebih mengedepankan kearifan lokal untuk proses mitigasi bencana karena cara tersebut dinilai efektif dan mudah dipahami masyarakat setempat.

Kearifan lokal itu seperti penggunakan kentongan (alat musik pukul dari bambu) yang ada di Pulau Jawa, atau kalimat takbir (Allahu Akbar) seperti di daerah Sumatera.

Gempa bumi dan tsunami memang masih menjadi rahasia Ilahi, namun kewaspadaan harus dilakukan sebagai bentuk antisipasi.

Pembangunan shelter sebaiknya segera dilakukan mengingat ancaman tsunami bisa kapan saja terjadi di Kota Palu.

Jangan sampai berupaya menghemat dana miliaran rupiah untuk membangun "shelter" namun ratusan nyawa menjadi taruhannya. (R026/SKD)