Jakarta (antarasulteng.com) - "Suami saya sudah hilang," celetuk sang istri.
"Hilang di Sumba," jawab sang suami.
Ricky Elson, sang suami, kini memang tiga strip lebih hitam
dibanding saat tinggal di Jepang dulu. Begitu lama Ricky tinggal di
pedalaman Sumba sehingga istrinya merasa tidak kenal lagi saat sang
suami pulang ke Padang.
Di pedalaman Sumba memang panas. Dan, jarang mandi. Air begitu sulit.
Sudah hampir tiga tahun putra Padang ini meninggalkan Jepang,
tempatnya menimba ilmu, mencipta, dan berkarir selama 14 tahun. Dia rela
pulang ke Tanah Air memenuhi permintaan saya untuk mengembangkan mobil
listrik.
Juga mengembangkan keahliannya di bidang motor listrik untuk segala macam keperluan.
Selama di Jepang Ricky memang tekun melakukan penelitian. Dia
berhasil meraih 14 hak paten internasional. Salah satunya yang kini dia
terapkan di pedalaman Sumba dengan suksesnya.
Dengan demikian, selama tinggal di Indonesia Ricky sudah berhasil
membidani mobil listrik, dan kini terbukti lagi berhasil membangun Taman
Listrik Tenaga Angin (TLTA). Murni ciptaan dia.
Kata "ciptaan" ini perlu saya beri penekanan karena unsur
terpenting dari unit ini benar-benar karya dia. Generatornya istimewa,
termasuk untuk ukuran dunia. Inilah generator pertama yang hanya
menggunakan magnet 200 gram. Bandingkan dengan generator pada umumnya
yang magnetnya sampai 1,6 kg.
Bukan saja generator itu nanti lebih murah, melainkan juga bisa
memberikan keunggulan teknologi: dengan kecepatan angin yang hanya 3
meter per detik generator itu sudah bisa menghasilkan listrik. Ini
sangat penting untuk kondisi angin di Indonesia.
Ricky, sebagai putra bangsa, memang bisa lebih membumi: dia tahu
daya beli di Indonesia masih rendah sehingga memerlukan generator murah.
Dia tahu generatornya mahal maka listrik tenaga angin jadi lebih mahal
dari sumber tenaga lainnya, terutama batugana, eh, batu bara.
Ricky juga tahu angin di Indonesia itu angin-anginan.
Tiga persoalan itulah yang membuat saya tidak pernah yakin dengan
listrik tenaga angin. Tiga hal itu memang tidak terselesaikan oleh
perangkat listrik tenaga angin yang selama ini diimpor.
Saya melihat kincir yang dipasang oleh berbagai instansi, di
berbagai tempat di Indonesia belum ada yang berhasil. Kalau tidak
berputar, rusak, tiangnya sudah hampir roboh.
Ricky sudah lama melakukan penelitian tentang angin. Dia pernah
tinggal di pantai selatan Tasikmalaya. Harus naik motor selama enam jam.
Dia indekos di rumah penduduk. Dia bina anak-anak muda melakukan
penelitian yang benar.
Kesimpulannya: untuk Indonesia harus generator dan baling-baling
bagus tetapi murah. Teknologinya harus cocok untuk angin yang lemah
gemulai pun.
Mengapa angin kencang tidak sebanyak di Eropa? Sejak dahulu memang
begitu karena kita berada di khatulistiwa. Bukan hanya sejak ada iklan
tolak angin.
Untuk baling-baling Ricky menemukan bahan pribumi: kayu pinus.
Ringan dan kuat. Dia pun membina seorang pengrajin dari Lumajang, Jatim,
untuk membuatnya. Memuaskan.
Setelah dicoba selama setahun di pedalaman Sumba ternyata sukses.
Tidak ada persoalan teknologi sama sekali. Sudah teruji.
Taman listrik Tenaga Angin yang saya kunjungi di pedalaman Sumba,
Minggu, 5 Oktober lalu, itulah yang umurnya sudah lebih satu tahun. Ada
28 kincir angin bergenerator yang ditanam di Desa Kemanggih, Maubaukul,
Kabupaten Sumba Timur itu.
Semuanya masih berputar normal. Kadang tiangnya bergoyang-goyang
saat angin sangat kencang. Memang dibuat begitu agar lentur. Maka,
kincir-kincir itu seperti menari-nari mengikuti irama dan arah angin.
Ricky sendiri menamakannya "para penari langit".
"Tidak pernah rusak. Satu hari pun," ujar Umbu Janji, tokoh penggerak desa itu.
Hari itu, setelah kebaktian di gereja, Umbu Janji menjemput saya.
Meski kini sudah menjadi anggota DPRD Sumba Timur dari PAN, Umbu Janji
"turun pangkat" menjadi sopir. Terutama setelah saya gagal jadi sopir
yang baik: ban kiri depan hancur dan pelegnya pun penyok-penyok. Saya
nabrak batu-batu tajam di jalan padang savana yang kering dan luas itu.
Malam itu saya tidur di Kemanggih, di rumah Pak Umbu Yanus. Di
rumah kayu berkolong tinggi yang tidak berpintu. Tangga untuk naik ke
rumah itu hanya satu papan dengan posisi menyerong.
Agar tidak terpeleset, kayu-kayu kecil dipakukan melintang menjadi anak tangga.
Malam itu beberapa penduduk menemani saya tidur di tikar. Yang
laki-laki di ujung sana, yang ibu-ibu menemani Bu Tri Mumpuni di ujung
sini. Beberapa orang sengaja tidak mau tidur semalam suntuk. Main catur.
Semuanya, laki-perempuan, menginang sirih. Bukan daunnya, melainkan
buahnya.
Bu Puni, panggilan Tri Mumpuni, aktivis pemberdayaan penduduk desa
terpencil itu sudah biasa dikerumuni ibu-ibu Kemanggih. Dia sudah
berkali-kali tidur di desa ini sejak 20 tahun lalu. Bu Punilah yang
mengarahkan agar CSR Pertamina diberikan ke desa ini.
Sebelum tidur saya mengunjungi TLTA karya Ricky. Di sebuah bukit
yang tertinggi di desa itu. Indah dan temaram. Di bawah terang bulan
yang masih muda, di atas bukit yang langitnya jernih, kami mendongak ke
sana ke mari dengan takjub. Taman listrik ini terbayang seperti taman
bunga matahari yang jangkung.
Semua baling-balingnya berputar indah seperti lagi menghiasi langit
Sumba. Sejauh mata memandang terlihat pengunungan sunyi. Alam Sumba
pada waktu malam terlihat lebih misterius, di bawah sinar bulan yang
masih muda.
Pagi-pagi kami sekali lagi ke bukit itu. Kincir taman listrik terus
berputar. Meliuk. Menari. Menyambut terbitnya matahari pagi. Saya
memuji karya ini. "Baru kali ini saya melihat tenaga angin yang
benar-benar berfungsi," kata saya kepada Ricky.
"Sebenarnya ini pun juga pernah Bapak ragukan," ujar Ricky sambil, seperti biasa, bercanda.
Setahun setelah membangun TLTA di Maubaukul itu, Ricky membuat yang
lain. Di dua desa sekaligus. Bahkan lebih besar. Seperti di Kemanggih,
juga menggunakan baterai Nippres made in Bogor.
Bulan lalu semua sudah berfungsi. Saya pun ke sana, ke Desa Tana
Rara, masih di Sumba Timur. "Penari langit"-nya 48 "bunga". Seperti
tarian kolosal.
Meski badan seperti remuk, saya bahagia menyaksikan karya Ricky.
Terutama setelah tiga bulan lalu saya temui dia di Bandung. Saya harus
memberi tahu bahwa masa jabatan saya sebagai menteri akan segera
berakhir. Artinya, gaji menteri yang sepenuhnya saya berikan kepada dia
juga akan berakhir.
"Saya tidak bisa lagi menahan kalau Anda ingin kembali ke Jepang,"
kata saya kepadanya. "Toh bos Anda yang di Jepang masih terus menunggu."
Ricky terdiam sejenak. Kepalanya menunduk. Wajahnya menatap ke
bumi. Sesaat kemudian baru dia berucap. "Saya akan tetap di Indonesia.
Seadanya," jawab Ricky. "Saya akan meneruskan semua ini semampu saya." (skd)
Berita Terkait
Rahmad M Arsyad bagi kaos bergambar Ahmad Dahlan saat kembalikan formulir di PAN
Rabu, 24 April 2024 18:32 Wib
Presiden Jokowi tinjau Masjid Walidah Dahlan yang didesain ramah lingkungan
Kamis, 1 Februari 2024 7:16 Wib
Dahlan Iskan akui tak banyak tahu soal proyek LNG Pertamina
Jumat, 15 September 2023 7:42 Wib
Dahlan Iskan penuhi panggilan KPK sebagai saksi kasus korupsi LNG
Kamis, 14 September 2023 10:34 Wib
KPK panggil Dahlan Iskan terkait kasus korupsi LNG Pertamina
Kamis, 14 September 2023 8:43 Wib
Dahlan Iskan dipanggil KPK terkait kasus korupsi LNG Pertamina
Kamis, 7 September 2023 11:34 Wib
DPR rapat dengan Mahfud MD bahas transaksi mencurigakan di Kemenkeu
Rabu, 29 Maret 2023 14:20 Wib
FKUB-BIN Sulteng sinergi tingkatkan kualitas kamtibmas
Kamis, 8 September 2022 21:24 Wib