MK Batalkan Aturan Sekolah Bertaraf Internasional

id RSBI, Sisdiknas, Mendiknas, Sulteng

MK Batalkan Aturan Sekolah Bertaraf Internasional

Sejumlah pelajar turun dari perahu tambang pada hari pertama masuk sekolah di Desa Ledokwetan, Bojonegoro, Jawa Timur, Senin (7/1). Mereka harus menyeberangi Sungai Bengawan Solo yang saat ini airnya tinggi dan berarus deras. (ANTARA/Aguk Sudarmojo)

"Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Mahfud MD.
Jakarta - Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur program penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional dan Sekolah Bertaraf Internasional.

"Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua Majelis Hakim Mahfud MD saat membacakan putusan di Jakarta, Selasa.

Pasal 50 ayat (3) UU Sistem Pendidikan berbunyi: "Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional".

Dalam pertimbangannya, Mahkamah memahami konsepsi SBI sebagaimana dimaksudkan dalam UU Sisdiknas untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia agar peserta didik memiliki daya saing tinggi dan kemampuan global, karena Indonesia sebagai negara besar mau tidak mau harus mampu berperan aktif dalam percaturan global.

"Walaupun demikian, menurut Mahkamah maksud mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi tidak semata-mata mewajibkan negara memfasilitasi tersedianya sarana dan sistem pendidikan yang menghasilkan peserta didik yang memiliki kemampuan yang sama dengan negara-negara maju, tetapi pendidikan harus juga menanamkan jiwa dan jati diri bangsa. Pendidikan nasional tidak bisa lepas dari akar budaya dan jiwa bangsa Indonesia," kata Hakim Konstitusi Anwar Usman, saat membacakan pertimbangannya.

Selain itu, kata Anwar, dengan pembedaan antara sekolah SBI/RSBI dengan sekolah non-SBI/RSBI, baik dalam hal sarana dan prasarana, pembiayaan maupun output pendidikan, akan melahirkan perlakuan berbeda antara kedua sekolah tersebut termasuk terhadap siswanya.

"Pembedaan perlakuan demikian bertentangan dengan prinsip konstitusi yang harus memberikan perlakuan yang sama antarsekolah dan antarpeserta didik apalagi sama-sama sekolah milik pemerintah," katanya.

Mahkamah juga mengatakan program RSBI/SBI cenderung hanya keluarga dengan status ekonomi mampu dan kaya yang dapat menyekolahkan anaknya pada sekolah SBI/RSBI, walaupun terdapat perlakuan khusus dengan memberikan beasiswa kepada anak-anak dengan latar belakang keluarga kurang mampu secara ekonomi untuk mendapat kesempatan bersekolah di SBI/RSBI.

"Tetapi hal itu sangat sedikit dan hanya ditujukan pada anak-anak yang sangat cerdas, sehingga anak-anak yang tidak mampu secara ekonomi yang kurang cerdas karena latar belakang lingkungannya yang sangat terbatas, tidak mungkin untuk bersekolah di SBI/RSBI," kata Anwar.

Mahkamah menyebutkan pendidikan berkualitas menjadi barang mahal yang hanya dapat dinikmati oleh mereka yang mampu secara ekonomi sehingga bertentangan dengan prinsip konstitusi yang menjadikan penyelenggaraan pendidikan sebagai tanggung jawab negara.

"Terlebih lagi terhadap pendidikan dasar yang sepenuhnya harus dibiayai oleh negara sebagaimana diamanatkan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945," kata Anwar.

Menurut Mahkamah, kewajiban pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional akan mengikis dan mengurangi kebanggaan terhadap bahasa dan budaya nasional Indonesia.

Bahkan berpotensi mengurangi jatidiri bangsa yang harus melekat pada setiap peserta didik, mengabaikan tanggung jawab negara atas pendidikan, dan menimbulkan perlakuan berbeda untuk mengakses pendidikan yang berkualitas sehingga bertentangan dengan amanat konstitusi.

Pasal 50 ayat (3) UU Sistem Pendidikan diuji oleh sejumlah orang tua murid dan aktivis pendidikan ke MK karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

Para pemohon tersebut adalah Andi Akbar Fitriyadi, Nadia Masykuria, Milang Tauhida (orang tua murid), Juwono, Lodewijk F Paat, Bambang Wisudo, Febri Antoni Arif (aktivis pendidikan).

Para pemohon merasa dirugikan hak konstitusional karena praktiknya terjadi diskriminatif dan sangat sulit dan mahal untuk menyekolahkan anak-anaknya di RSBI.

Dalam permohonan sejak 2006 pemerintah telah mengembangkan program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).

Berdasarkan data Kemendiknas hingga 2011 jumlah RSBI di seluruh Indonesia mencapai 1.305 sekolah. Rinciannya, Sekolah Dasar (239), Sekolah Menengah Pertama (356), Sekolah Menengah Atas (359), dan Sekolah menengah Kejuruan (351).

Hingga kurun waktu 2006-2010, Kemendiknas telah mensubsidi 1.172 RSBI menjadi SBI dengan total bantuan sebesar Rp11,2 triliun. Selain Kemendiknas, RSBI dan SBI juga telah mendapatkan bantuan dana dari pemerintah daerah dan masyarakat.

Keberadaan pasal itu menimbulkan perbedaan praktik antara sekolah umum dan RSBI/SBI, misalnya, dalam sekolah umum fasilitasnya minim dan guru-gurunya kurang memenuhi kualifikasi sedangkan dalam sekolah RSBI  fasilitas lengkap dan guru-gurunya berkualitas.(J008)