BPK ingatkan pentingnya mitigasi risiko penanganan COVID-19

id BPK,kasus century,blbi,penanganan covid 19

BPK ingatkan pentingnya mitigasi risiko penanganan COVID-19

Ilustrasi - Laporan keuangan pemerintah saat diaudit BPK untuk mendapatkan opini WTP (Antaranews.com)

Sebelum membuat kebijakan, harus ada mitigasi dulu, atas tingkat kedalaman dari kebijakan tersebut
Jakarta (ANTARA) - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengingatkan pentingnya mitigasi risiko dalam pelaksanaan program penanganan dampak COVID-19 untuk menekan tingginya beban keuangan negara.

"Sebelum membuat kebijakan, harus ada mitigasi dulu, atas tingkat kedalaman dari kebijakan tersebut," kata Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agus Joko Pramono dalam seminar virtual di Jakarta, Selasa.

Ia mengatakan mitigasi risiko itu menjadi penting agar kasus penyalahgunaan wewenang dari pemanfaatan keuangan negara tidak terjadi lagi.

Agus mengharapkan pemerintah bisa belajar dari pelaksanaan kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada 1998 maupun penyelamatan Bank Century pada 2008.

Dalam kasus BLBI, pemerintah tidak mengetahui besaran secara tepat beban utang bank-bank yang mengalami masalah likuiditas karena terdampak krisis moneter.

Hal serupa juga terjadi ketika Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tidak mengetahui besaran biaya yang diperlukan untuk penyelamatan Bank Century.

"Pada awalnya penyelamatan Bank Century hanya membutuhkan Rp670 miliar, tapi melebar hingga mencapai Rp7 triliun," katanya.

Dengan tidak adanya data yang tepat, maka beban keuangan untuk menyelamatkan perekonomian pada waktu itu sangat besar dan jumlahnya terus meningkat.

Berkaca dari pengalaman tersebut, Agus mengharapkan kejadian serupa tidak terulang lagi, meski saat ini pandemi COVID-19 masih melanda.

Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan total biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi pandemi COVID-19 di Indonesia mencapai Rp677,2 triliun.

Dari jumlah tersebut sebanyak Rp589,65 triliun akan dimanfaatkan untuk pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional yang mencakup adanya pemberian subsidi maupun insentif.

Program itu antara lain untuk bantuan perlindungan sosial Rp203,9 triliun, insentif perpajakan Rp123,01 triliun, restrukturisasi UMKM dan padat karya Rp82,2 triliun serta subsidi bunga Rp35,28 triliun.

Dengan adanya penambahan anggaran, maka defisit anggaran juga diperlebar menjadi 6,34 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebesar Rp1.039,2 triliun.

Meski demikian terdapat adanya risiko dari pelaksanaan kebijakan ini antara lain terkait ketepatan sasaran, jumlah maupun kualitas dari bantuan tersebut.