Aceh 2012 Dari Lambang Hingga Bendera Oleh Azhari

id aceh, 2012

Aceh 2012 Dari Lambang Hingga Bendera Oleh Azhari

Gubernur Aceh Zaini Abdullah (tengah) dan Wakil Gubernur Muzakir Manaf (kiri) (antara)

Banda Aceh,  (antarasulteng.com) - "Lho, berita apa lagi ini. Kemarin ribut-ribut masalah Qanun Lembaga Wali Nanggroe. Hari ini ramai lagi tentang lambang dan bendera Aceh," ujar Mukhsin, seorang warga Lambaro, Kabupaten Aceh Besar.

Pedagang buah yang mangkal di pinggir jalan T Panglima Nyak Makam Kota Banda Aceh itu menyampaikan pendapatnya tersebut setelah membaca surat kabar terbitan lokal.

"Sebagai pedagang kecil, dia memang tidak perlu serius mengikuti perkembangan isu politik terutama di Aceh. Seharusnya pemerintah dan anggota dewan fokus membangun ekonomi. Politik dikurangi ajalah," kata pedagang buah-buahan itu.

Senada dengan pedagang itu, mantan Ketua BPD Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Aceh Fachrizal Murphy meminta pemerintah dan legislatif tidak terlalu menonjolkan masalah politik, tapi fokus kepada pembangunan ekonomi.

"Politik ya. Tapi, jangan terlalu ditonjolkan jika kondisi ekonomi daerah masih buruk. Angka pengangguran dan kemiskinan di Aceh masih tinggi, seharusnya menjadi prioritas utama untuk dijalankan," kata dia menambahkan.

Sepanjang 2012, katanya, persoalan-persoalan yang dominan di Aceh adalah politik, sementara bidang ekonomi seakan menjadi isu "gelap" dibicarakan baik oleh pemerintah maupun legislatif.

Kini, di penghujung 2012 isu politik juga menjadi berita utama media masa di Aceh yakni dari Rancangan Qanun (Perda) Lambang Wali Nanggroe hingga Lambang dan Bendera Aceh.

Isu politik terkait lambang dan bendera Aceh juga memancing beragam pendapat baik dalam bentuk "perang" di media massa, jejaring sosial hingga diskusi kecil di warung-warung kopi di Aceh.

Kendati demikian masalah rancangan Qanun lambang dan bendera Aceh itu hingga kini belum diparipurnakan untuk pembahasan lanjut di tingkat legislatif (DPRA).

Sementara pemerintah dan legislatif Aceh hingga kini juga sedang melakukan harmonisasi dengan Pemerintah Pusat terkait dengan rancangan Qanun lambang dan bendera Aceh.

Lambang yang diusulkan dalam rancangan Qanun adalah "rangkaian gambar dua kepala singa dan buraq". Sedangkan bendera adalah kain warna dasar merah tua, pinggiran atas dan bawah bergaris hitam/putih dan di tengahnya bergambar bulan dan bintang.

Lambang dan bendera yang diusulkan dalam rancangan Qanun tersebut merupakan atribut yang kerap digunakan atau disimbolkan saat perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebelum perjanjian damai yang ditandatangani di Helsinki, 15 Agustus 2005.

Wakil Gubernur Aceh Muzakkir Manaf mengatakan pihaknya menyerahkan kepada anggota legislatif (DPRA) soal penetapan lambang dan bendera daerah untuk provinsi itu.

"Soal itu saya serahkan kepada DPRA. Pokoknya yang terbaik bagi masyarakat Aceh," katanya menjelaskan belum lama ini.

Namun jika sebagai Ketua Umum Partai Aceh, Muzakir Manaf mengatakan pihaknya tentu akan mendukung setiap langkah yang diputuskan oleh partainya di DPRA.

"Sebagai Ketua Partai Aceh kita tentunya mendukung keputusan yang diambil oleh partai di legislatif," katanya menambahkan.

Sementara, Pangdam Iskandar Muda Mayjen TNI Zahari Siregar mengatakan terkait dengan lambang dan bendera daerah yang sedang digodok di tingkat DPRA itu harus berkonsultasi dengan Pemerintah Pusat, sehingga produk hukum yang akan dihasilkan itu tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.

"Artinya lambang dan bendera daerah itu akan dikaji secara lebih lanjut oleh Pemerintah Pusat dan jika ada yang menganjal maka akan dipanggil guna menjelaskan terhadap rancangan peraturan daerah tersebut," katanya.

Menurut dia, lambang dan bendera daerah dapat dikibarkan sepanjang tidak melanggar ketentuan yang berlaku. Tapi jika lambang dan bendera daerah itu mengandung unsur separatis maka itu jelas pelanggaran.

    
NKRI harga mati

Ketua DPR Aceh Hasbi Abdullah mengatakan usulan bendera dan lambang Aceh tidak perlu ditakutkan akan lahirnya bayangan konflik masa lalu.

"Saya kira tidak perlu ditakutkan karena separatis tidak ada lagi. Semuanya sudah mengikrarkan diri dalam bingkai NKRI. NKRI harga mati," kata Hasbi Abdullah.

Bendera dan lambang Aceh itu nantinya diatur dalam Qanun yang merupakan turunan dari Undang Undang Nomor 11/2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA).

Hasbi Abdullah mengatakan, rancangan qanun tentang bendera dan lambang Aceh sudah selesai dibahas oleh Komisi A DPRA. Namun, belum diparipurnakan karena perlu dikonsultasikan terlebih dahulu dengan Menteri Dalam Negeri.

Mengenai adanya pernyataan Menteri Dalam Negeri yang meminta usulan bendera dan lambang Aceh diubah, Hasbi Abdullah mengatakan hal itu wajar dan  boleh-boleh saja.

"Menteri Dalam Negeri belum mendengarkan penjelasan dari DPRA terkait usulan bendera dan lambang Aceh," kata politisi Partai Aceh tersebut.

Oleh karena itu, tim DPRA akan menjelaskan usulan tersebut ketika proses konsultasi rancangan qanun tentang bendera dan lambang Aceh dengan Menteri Dalam Negeri.

"Jika proses konsultasi ini selesai, DPRA segera menggelar sidang paripurna pengesahan rancangan qanun bendera dan lambang Aceh. Kami targetkan rancangan qanun bendera dan lambang Aceh bisa disahkan tahun ini juga," kata Hasbi Abdullah.

Sekretaris Komisi-A DPR Aceh Abdullah Saleh mengatakan keberadaan bendara dan lambang daerah hanya bersifat simbol pemersatu masyarakat, bukan bersifat kedaulatan sebuah negara.

"Bendara dan lambang hanyalah simbol pemersatu masyarakat Aceh, bukan sifat kedaulatan sebuah negara. Keberadaan bendara dan lambang Aceh merupakan perintah UUPA yang diatur dalam Pasal 246 dan 247," katanya menambahkan.

Karena perintah undang-undang, kata dia, maka keberadaan bendera dan lambang Aceh tersebut akan diatur dalam qanun atau peraturan daerah yang rancangannya dalam pembahasan.

Menyangkut bendera dan lambang Aceh yang diusulkan eksekutif mirip dengan alat perjuangan GAM semasa konflik.

"Tapi, yang perlu dipahami, yang diusulkan tersebut merupakan bendera dan lambang semasa Kesultanan Aceh di masa lalu," kata politisi Partai Aceh tersebut.

Kenapa mirip dengan alat perjuangan GAM, katanya, karena GAM merupakan representasi dengan perjuangan Aceh masa lalu, sehingga simbol tersebut mirip dengan bendera dan lambang Kesultanan Aceh.

"Bendera dan lambang yang akan dibuat nanti bukan untuk melahirkan konflik, tetapi lebih kepada penguatan dan pemersatu masyarakat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata Abdullah Saleh.

Wakil Ketua MPR Ahmad Farhan Hamid menyatakan masih ada peluang untuk sinkronisasi terhadap rancangan qanun tentang lambang dan bendera Provinsi Aceh.

"Saya sudah berkomunikasi dengan gubernur dan tim terhadap lambang dan bendera Aceh, semua itu masih ada ruang sinkronisasi karena Aceh terbuka untuk semua pihak," katanya.

Ia menjelaskan setiap daerah memiliki kewenangan untuk membuat qanun atau peraturan daerah yang akan dikonsultasikan dengan Mendagri sesuai dengan mekanisme yang ada.

Farhan mengatakan pembahasan lambang dan bendera untuk provinsi ujung paling barat Indonesia itu tidak perlu adanya ketegangan politik karena seluruh produk hukum itu masih ada proses sinkronisasi.

"Saya berharap tidak ada pendapat yang aneh-aneh terhadap lambang dan bendera karena akan meresahkan masyarakat Aceh juga nantinya," katanya.

"Kita tunggu saja perkembangannya setelah mendapat koreksi dari Mendagri dan semua persoalan yang muncul pasti dapat diselesaikan," kata Farhan Hamid.

Namun yang juga menjadi harapan sekitar 4,7 juta penduduk di provinsi itu agar perbedaan pandangan dan politik terkait lambang dan bendera tidak melupakan angka pengangguran dan kemiskinan Aceh yang meningkat, apalagi sampai memicu konflik kembali.(A042/SKD)