Mengubah Tontonan TV Menjadi Tuntunan

id KPI, televisi, Ilmawati

Mengubah Tontonan TV Menjadi Tuntunan

Film Si Unyil digemari anak-anak era 1980-an (FOTO ANTARA/Reno Esnir)

Jika dicermati, acara di televisi saat ini banyak yang tidak layak untuk disaksikan untuk anak usia sekolah dasar atau di bawahnya.
Palu - Shahnaz sudah mulai mengubah gaya bicaranya seperti bintang sinetron yang ia tonton saban hari.

Gadis berumur empat tahun itu sudah sering menggunakan kata "aku" daripada "saya" ketika berbicara kepada orangtuanya atau kepada tetangga sekitar.

Shahnaz adalah bocah asli kelahiran Palu, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah. Masyarakat Palu sangat jarang menggunakan kata "aku" ketika bertutur dengan lawan bicaranya.

Perempuan kecil yang akan masuk taman kanak-kanak ini juga gemar menyanyikan lagu-lagu dewasa yang sering dibawakan "girl band" pujaannya di televisi.

Kedua orangtua Shahnaz adalah PNS di Kabupaten Sigi. Setiap hari Shanaz dititipkan di rumah tantenya di Kota Palu ketika kedua orangtuanya bekerja.

Saat di rumah tantenya itu, sebagian besar waktu Shahnaz hanya dihabiskan menonton tayangan televisi.

Lain lagi dengan Jeane. Gadis kecil yang lebih tua satu tahun dari Shahnaz ini sering ngambek ketika kemauannya tidak dituruti kedua orangtuanya.

Orangtua Jeane mengaku polah putri sulungnya itu karena terpengaruh sinetron dan film kartun yang sering ditontonnya setiap hari di layar kaca.

Gaya bicara Jeane juga berubah meski tidak separah yang dialami Shanaz.

Ibu Jeane menuturkan, anak pertamanya itu sekarang juga sudah mulai membantah perkataannya.

Waktu sehari-hari Jeane sebagian besar dihabiskan hanya di rumah, dan jarang bergaul dengan anak seusianya.

Ibu Jeane mengaku tidak bisa berbuat banyak melihat perubahan sikap anaknya. "Mungkin dia (Jeane) belum punya banyak teman sehingga anaknya lebih terpengaruh oleh siaran televisi," katanya.

Menurutnya, tingkah polah anaknya akan berubah seiring perkembangan usianya. "Kalau dia sudah sekolah pasti bicaranya seperti orang Palu pada umumnya," katanya.

Pengaruh buruk siaran televisi kepada anak-anak sebenarnya sudah terjadi sejak beberapa tahun silam, terutama saat maraknya tontonan gulat bebas "Smack Down".

Acara tersebut menampilkan aksi-aksi brutal, yakni memukul, menendang, hingga membanting lawannya hingga keluar arena gulat. Meski adegan itu dilakukan secara pura-pura namun anak-anak belum bisa memahaminya sehingga mereka segera menirukan aksi gulat bebas di sekolahnya.

Sejumlah murid sekolah dasar dilaporkan mengalami memar-memar, patah tulang, bahkan hingga meninggal dunia karena aksi saling banting yang mencontoh aksi pegulat di acara "Smack Down". Acara itu sendiri saat ini sudah tidak boleh disiarkan lagi di televisi di Indonesia.

Jika dicermati, acara di televisi saat ini banyak yang tidak layak untuk disaksikan untuk anak usia sekolah dasar atau di bawahnya.

Menurut Falmah, seorang guru SMP di Palu, tayangan yang tidak layak ditonton anak-anak antara lain, sulap yang susah dicerna nalar, "talk show" atau acara gosip, sinetron, serta acara musik yang penyanyinya memakai pakaian agak terbuka.

Berbagai acara itu, katanya, banyak ditayangkan pada jam-jam efektif saat anak belajar yakni pada pukul 18.00 hingga 21.00.

Dia mengatakan, orangtua kewalahan melarang anaknya menonton televisi karena rengekan si buah hati membuat luluh.

"Sebenarnya kalau ada ketegasan dari orangtua, pasti anak akan menurut," kata Falmah.

Siaran Bermutu

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah Sulawesi Tengah telah mengingatkan agar stasiun televisi lokal menyiarkan acara bermutu sesuai dengan pedoman program siaran yang telah ditetapkan.

Ketua KPI Daerah Sulawesi Tengan Ilmawati Dja`afara mengatakan siaran bermutu bagi televisi lokal tersebut penting di tengah gencarnya gempuran siaran televisi swasta nasional.

Siaran yang bermutu antara lain tidak menayangkan acara berbau kekerasan, asusila dan melanggar etika masyarakat.

Di Sulawesi Tengah, kata Ilmawati, 80 persen masyarakatnya mendapatkan informasi dan hiburan dari menonton televisi. Mereka berasal dari semua kalangan.

Ilmawati mengatakan dengan banyaknya siaran televisi dari luar negeri serta mudahnya masyarakat mengakses televisi melalui berbagai teknologi yang tersedia menuntut kerja keras KPI untuk mengajak perusahaan televisi swasta lokal membuat acara kreatif yang bermutu.

Saat ini terdapat empat stasiun televisi swasta di Sulawesi Tengah. Tiga di Kota Palu yakni Radar TV, Nuansa TV, Palu TV dan satu di Kabupaten Poso yakni Pelangi TV. Selain itu juga terdapat satu lembaga penyiaran publik yakni TVRI.

Dia mengatakan KPI tidak memiliki kewenangan intervensi terhadap program acara namun jika itu dianggap melanggar maka KPI wajib menegur stasiun televisi bersangkutan.

Ilmawati mengatakan KPI terus berusaha membangun kesadaran masyarakat dalam berpartisipasi mengkritisi penyajian siaran yang kurang etis untuk ditonton.

"Pengaruh siaran atau tontonan yang disajikan media, khususnya televisi, telah memberikan dampak positif dan negatif terhadap masyarakat.

Namun berdasarkan realitas dan pengalaman selama ini, justru dampak negatif yang banyak ditimbulkan, kata Ilmawati.

Dia berharap stasiun televisi bisa menciptakan program siaran yang sehat, cerdas, dan berkualitas untuk pembentukan watak, moral, serta kemajuan bagi persatuan bangsa.

Kesulitan Mengawasi

Ilmawati juga mengaku kesulitan mengawasi isi siaran televisi di wilayahnya.

Komisioner KPI Daerah Sulawesi Tengah saat ini berjumlah tujuh orang, dan dinilai kurang maksimal untuk berkeliling melaksanakan tugas ke daerah-daerah.

Provinsi Sulawesi Tengah saat ini memiliki luas 68 ribu kilometer persegi dengan jumlah 10 kabupaten dan satu kota. Provinsi beribu Kota Palu ini adalah provinsi terluas di Pulau Sulawesi.

Selain itu, KPI Daerah Sulawesi Tengah juga belum dilengkapi alat perekam siaran untuk melakukan pengawasan. Dia juga mengajak masyarakat untuk menjadi ujung tombak dalam pengawasan siaran televisi.

"Publik tidak boleh lepas tangan karena penyiaran adalah untuk kemaslahatan bersama," ujar Ilmawati.

Dia juga merangkul berbagai media massa untuk menggencarkan sosialisasi perilaku penyiaran positif oleh televisi dan radio.

Pemerintah sebelumnya telah mengefektifkan "gerakan masyarakat maghrib mengaji" yang salah satu tujuannya untuk mencegah pengaruh buruk televisi kepada masyarakat, termasuk anak-anak.

Namun gerakan yang diprakarsai oleh Kementerian Agama tersebut saat ini tidak lagi terdengar gaungnya.

KPI juga telah mengimbau kepada masyarakat untuk mematikan televisi pada jam-jam tertentu agar guna melindungi anak dari pengaruh negatif siaran televisi.

Berbagai pengaruh negatif siaran televisi bagi anak-anak itu harus menjadi perhatian kita. Anak-anak seharusnya bisa tumbuh dan berkembang dengan normal agar menjadi generasi yang sehat. Tontonan tidak seharusnya menjadi tuntutan. Ini menjadi tanggung jawab kita semua, kata Ilmawati. (R026)