Jakarta (antarasulteng.com) - Komisi I DPR saat ini sedang membahas perubahan
Undang-Undang Penyiaran N0 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
Alotnya pembahasan itu dikabarkan salah satunya terjadi karena
adanya tarik ulur antara pemerintah khususnya Kementerian Komunikasi dan
Informatika dengan pihak lain seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
dan Asosiasi TV Swasta Indonesia. Ketiganya, tampaknya saling bersaing
ingin mempunyai peran yang lebih kuat.
Kominfo menginginkan agar perizinan industri penyiaran (IP) tetap
menjadi wewenang atau otoritasnya. Sementara KPI sebagai wakil publik
juga ingin adanya keterlibatannya dalam memberikan izin siar kepada
perusahaan, termasuk ikut menentukan seleksi pengawas dan direksi di
lembaga penyiaran publik (LPP) yang saat ini masih dikendalikan oleh
Pemerintah dan DPR.
Sementara Asosiasi TV Swasta yang diwakili oleh Ketuanya, Dr. Ishadi
SK di Jakarta pekan lalu, meminta agar pembahasan penyempurnaan RUU
Penyiaran mempunyai visi kedepan (visioner), tidak ad hok atau
sementara. Oleh karena itu,dia menyampaikan usulan kepada Komisi I DPR
agar pembatalan Izin Penyelenggara Penyiaran (IPP) melalui (due process
of law) yaitu lewat pengadilan agar dapat meneguhkan Indonesia sebagai
negara hukum, seperti yang tertuang dalam ayat 3 Pasal 1 UUD 1945,
"Negara Indonesia adalah Negara hukum".
Dengan demikian bukan sebagai "maachstaat", yang segala sesuatunya
didasarkan pada kekuasaan. Usulan itu dapat dipahami, ketika perusahaan
penyiaran sudah mendapatkan izin dengan susah payah, akan dihantui
kekhawatiran oleh pencabutan atau tidak diperpanjang lantaran beda visi
politik dengan pemerintah.
Di tengah tarik ulur kepentingan yang sama-sama menginginkan UU
Penyiaran lebih baik dan demokratis, muncul suatu pertanyaan, dimanakah
posisi Perusahaan Umum Lembaga Kantor Berita Nasional Antara yang
sama-sama sebagai insan pers milik Negara/Pemerintah. Apakah ada ruang
untuk ikut menjadi bahasan dalam penyempurnaan UU Pemyiaran itu?
Wajar
Pertanyaan tersebut amat wajar diajukan mengingat Radio Republik
Indonesia (RRI) dan TVRI termasuk lembaga penyiaran publik (LPP) yang
mendasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) No 12 dan 13 Tahun 2005
sebagai tindak lanjut dari UU Penyiaran.
Sementara Perum LKBN Antara, yang dalam sejarahnya dulu, di bawah
kendali Sekretariat Negara dan Departemen Penerangan, dengan lahirnya PP
No 40 Tahun 2007 tentang Perum LKBN Antara, kelembagaan Antara
"tereduksi" menjadi Perum yang harus bekerja layaknya sebuah korporasi
mencari keuntungan.
Padahal RRI dan TVRI juga berfungsi sebagai agen pembangunan tidak
dibebani soal untung dan rugi. Oleh karena iyu, PP N0 40 Tahun 2007
sebagai tindak lanjut dari UU No 19 Tahun2003 tentang BUMN, layak untuk
dimasukkan dalam perdebatan dalam pembahasan Penyempurnaan UU Penyiaran.
Dengan begitu pembahasan UU Penyiaran akan terasa ada visi kedepan
tentang format kepemilikan pers milik Negara/Pemerintah yang harus
melibatkan pula keberadaan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Keterlibatan terhadap UU Pers dapat dilihat para wartawan dari RRI,
TVRI dan Antara yang selalu sama-sama ikut memperjuangkan pers nasional,
dan ikut melakukan uji kompetensi yang dilakukan oleh Dewan Pers.
Bahkan jika dilihat dari ketentuan umum UU Pers, pengertian Pers
dalam ayat (1) pasal 1 UU No 40 Tahun 1999 adalah melakukan peliputan,
pencarian, penulisan dan penyebaran baik melalui tulisan, suara dan
gambar lewat media cetak, elektronik dan media yang tersedia. Dengan
begitu keterlibatan LKBN Antara ikut dibahas dalam UU Penyiaran agar
pers milik Negara tidak terkotak-kotak dalam bingkai peraturan
Perundang-undangan yang saling berbeda.
Perlu efisensi kelembagaan
Perlunya efisiensi kelembagaan Prs milik Negara, sesunguhnya sudah diwacanakan sejak lama.
Sejak akhir tahun 2016, tatkala Komisi I DPR ingin membahas
Penyempurnaan UU Penyiaran, anggota Komisi I DPR, Arif Suditomo dengan
para pimpinan Perum LKBN Antara sudah mengisyaratkan perlunya Antara
ikut memberikan masukan dalam pembahasan UU tersebut. Pasalnya Antara
yang dikendalikan Meneg BUMN dan TVRI dan RRI oleh Menkominfo dan
Kementerian Keuangan, semuanya mengandalkan APBN dalam pembiayaannya
operasional termasuk dalam hal pengajian para pegawai. Oleh karena itu,
Komisi I berwacana menggabungkan Pers milik Negara itu agar secara
kelembagaannya lebih efektif dan efisien di era tata kelola keuangan
negara yang harus lebih baik itu.
"Sudah ada pembicaraan untuk menggabungkan RRI, TVRI dan Perum LKBN
Antara dalam rancangan undang-undang Radio Televisi Republik Indonesia.
Tetapi ini masih awal pembicaraan," kata anggota Komisi I DPR Arif
Suditomo, di Jakarta, tahun silam.
Ia bahkan telah mengonfirmasi kepada rekan-rekannya, perlunya
penggabungan ketiga lembaga itu dalam suatu wadah UU Penyiaran.
"Berapa anggota Dewan sudah melihat kemungkinan menggabungkan dalam
satu UU ketiga lembaga RRI, TVRI dan Perum LKBN Antara. Namun
pembicaraan ini masih sangat dini sehingga belum menjadi kesimpulan.
Semoga nanti akan menghasilkan jalan keluar yang baik bagi bangsa ini,"
katanya.
Pemikiran Arif, seyogianya harus diangkat kembali saat ini, jika
Negara ingin mempunyai kelembagaan pers milik Negara/Pemerintah lebih
kuat atau lebih akuntabel. Dana APBN yang dikucurkan untuk ketiga
lembaga itu tak kurang dari Rp1,5 triliun per tahun. namun jumlah
anggaran sebesar itu dipastikan tidak akan cukup membiayai pengembangan
dari masing-masing lembaga pers Pemerintah itu.
Di luar jumlah anggaran itu, mekanisme pengurusan, dan pengangkatan
dari masing-masing lembaga juga berbeda-beda, ada yang melalui panitia
seleksi (pansel) lalu diajukan ke DPR, ada pula yang hanya mengikuti
alur fatsun politik. Agar lebih produktif tentunya harus satu visi dan
misi sebagai lembaga pers milik Pemerintah.
Dalam kaitan ini, buku putih yang dikeluarkan Kementerian Komunikasi
dan Informatika yang menyebutkan, visi media kedepan adalah
pengembangan konvergensi yaitu memadukan teknologi digital mengacu pada
on demand akses ke konten apa saja, dimana saja pada perangkat digital
yang bersifat aktif.
Disebutkan, pengguna internet dunia tahun 2012 mencapai sekitar 2,4
miliar orang. China dengan jumlah penduduk 1,3 miliar jiwa sebagai
negara pengguna internet terbesar di Asia, dengan jumlah pengguna 513
juta jiwa dan Indonesia pada tahun yang sama sudah mencapai 55 juta jiwa
pengguna internet dengan penetrasi 22,4 persen.
Kementerian Komunikasi memperkirakan jumlah pengguna internet akan
terus naik secara cepat sehingga media yang akan dibangun adalah media
yang berbasis internet dan smartphone, karena hal itu akan lebih efisien
dan efektif.
Jika pemikiran Kominfo sejalan dengan Komisi I DPR yang sedang
membahas UU Penyiaran, maka tidak ada salahnya jika Perum LKBN Antara
sebagai bagian dari pers milik Negara/Pemerintah ikut juga dilibatkan
dalam pembahasan UU Penyiaran agar di kemudian hari.
Dengan demikian,nasib lembaga Perum LKBN Antara tidak akan menjadi
perusahaan yang "pesakitan" lantaran tidak untung dan tidak lagi dinilai
tidak punya nilai tawar, karena sejarah sudah terlupakan.
Penulis sebagai wartawan Utama dan Peneliti LSHI (skd)
Berita Terkait
LKBN Antara kembali gelar mudik gratis bersama BUMN
Minggu, 7 April 2024 13:43 Wib
ANTARA jadi mitra media resmi Liga Bola Basket Indonesia (IBL)
Jumat, 22 Maret 2024 11:32 Wib
Imigrasi Banggai komitmen bangun jembatan antara keamanan dan kemajuan ekonomi
Sabtu, 16 Maret 2024 15:00 Wib
Perum LKBN ANTARA berangkatkan pemudik lewat "Mudik Asik Bersama BUMN"
Rabu, 6 Maret 2024 20:23 Wib
LKBN ANTARA pererat relasi melalui ANTARA Business Forum di Medan
Selasa, 5 Maret 2024 12:38 Wib
ANTARA jaga muruah berita positif mengawal negeri
Selasa, 5 Maret 2024 7:02 Wib
Universitas Prasetiya Mulya dan ANTARA gali potensi Banyumas
Jumat, 1 Maret 2024 19:00 Wib
Pemerintah tetapkan defisit APBN 2025 berkisar antara 2,45-2,8 persen
Senin, 26 Februari 2024 16:00 Wib