Mengembalikan Hijaunya Hutan Sulteng Oleh Riski Maruto

id hutan, riski

Mengembalikan Hijaunya Hutan Sulteng Oleh Riski Maruto

Hutan kritis (ANTARA/Ampelsa)

Palu, Antarasulteng.com - Sekitar 20 tahun lalu hutan di Sulawesi Tengah masih lebat dan rapat. Saat dilihat dari pesawat terbang, hutan tersebut bagaikan hamparan permadani hijau maha luas yang menyelimuti sebagian daratan provinsi beribu Kota Palu ini.

Pemandangan tersebut tentu saja mengisyaratkan bahwa kelestarian hutan di Sulawesi Tengah masih terjaga.

Pada 20 tahun silam jumlah penduduk provinsi ini sekitar 1,7 juta jiwa yang tersebar di wilayah seluas 68 ribu kilometer persegi.

Saat ini jumlah penduduk Sulawesi Tengah mencapai 2,8 juta jiwa yang tersebar di 10 kabupaten dan satu kota.

Pemerintah juga mencatat dalam kurun 10 tahun terakhir luas hutan di Sulawesi Tengah terus menyusut.

Pada 1994, luas hutan Sulawesi Tengah mencapai 4.394.932 hektare atau 64,6 persen dari luas wilayah. Namun pada 2011, luas menyusut menjadi 3.248.458 hektare, atau sekitar 52 persen.

Penyusutan luas hutan tersebut terjadi berbagai faktor antara lain pembukaan perkebunan, pertanian, pertambangan, dan permukiman, serta pencurian kayu.

Hal itu dinilai wajar seiring pertumbuhan penduduk dengan berbagai kebutuhan serta keinginan manusia yang menginginkan memperoleh uang tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan.

Jumlah manusia terus bertambah setiap tahunnya namun jumlah daratan selalu tetap. Akhirnya hutan menjadi korban, luasnya kian berkurang demi mencukupi kebutuhan manusia. Pemerintah pun berpikir keras untuk mengatasi persoalan yang terjadi, jangan sampai hutan menjadi berkurang karena pemanfaatannya yang serampangan.



Kearifan lokal



Pejabat Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah, Susilowati, mengatakan kearifan lokal perlu diberdayakan untuk menjaga kelestarian hutan agar manfaatnya bisa terus dirasakan secara berkelanjutan.

"Memang Tuhan menciptakan hutan untuk manusia tapi pemanfaatannya harus bijak," kata Susilowati saat peluncuran pemantauan REDD+ di Palu baru-baru ini.

Kepala Bidang Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah ini mencontohkan di sebuah daerah di Thailand terdapat sebuah kelompok adat yang mengelola hutan dengan bijaksana.

Suku di daerah Chiang Mai itu memiliki populasi sekitar 105 orang dan selama 200 tahun tidak mengalami pertumbuhan penduduk secara signifikan.

"Mereka mengelola hutan dengan baik dengan kearifan lokal yang dimiliki," katanya.

Dia menuturkan, tali pusat setiap anak yang baru lahir dililitkan di sebuah pohon kecil, dan setelah anak itu berusia lima tahun akan diberitahu oleh orangtuanya, "Ini pohonmu, kau harus menjaganya sampai besar,".

Setiap pohon di suku pedalaman itu diberi nama sesuai anak yang baru lahir. "Ini luar biasa, dan harus dicontoh," kata Susilowati.

Berbeda dengan warga yang tinggal di kawasan hutan Dongi-Dongi, Kabupaten Sigi.

Awalnya penduduk di Dongi-Dongi yang berada di kawasan hutan berjumlah sekitar 100 orang, dan kini sudah bertambah menjadi 1.000-an orang. Mereka merambah hutan untuk keperluan hidup, seperti bercocok tanam, perumahan, dan perumahan.

"Kalau ini dibiarkan maka hutan di sekelilingnya akan habis. Olehnya dibutuhkan kearifan lokal agar hutan tetap lestari, dan masyarakat tetap bisa tinggal di situ," katanya.

Di Sulawesi Tengah sebenarnya sudah ada penerapan hukum adat terkait penebangan pohon liar. Di Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, terdapat masyarakat yang telah memberlakukan hukum adat untuk menindak tegas penebang pohon sembarangan.

Sanksi bagi pelanggar hukum berupa membayar denda dengan ternak kerbau atau diusir dari kampung sesuai jenis pelanggarannya.

Menurut Susilowati, hal seperti itu harus dijaga dan dirawat karena kearifan lokal masih dijunjung tinggi oleh masyarakat dan dinilai mampu mengurangi kerusakan hutan.

Pada 2013, luas hutan di Sulawesi Tengah mencapai 4,1 juta hektare yang tersebar di 10 kabupaten dan satu kota. Dari luas tersebut, terdapat 288,5 ribu hektare lahan kritis, dan satu juta hektare hutan berpotensi kritis.

"Butuh puluhan tahun untuk merehabilitasi hutan berpotensi kritis itu," ujar Susilowati.

Dia juga menyatakan pemerintah hanya mampu merehabilitasi hutan seluas 15 ribu hektare per tahun padahal potensi lahan kritis di provinsi ini mencapai satu juta hektare.

"Butuh waktu 50 tahun lebih untuk rehabilitasi hutan kita. Mungkin saya sudah meninggal dunia, proses rahabilitasi belum selesai juga," katanya.

Olehnya, dia juga mengajak masyarakat untuk menjaga dan melestarikan hutan agar tidak kritis atau habis.

Dia juga mendukung program Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) yang yang akan dilakukan di sejumlah negara Asia dan Amerika Latin, termasuk Indonesia.

Program REDD itu adalah inisiasi dari negara-negara Eropa dan Amerika guna mengurangi dampak pemanasan global dengan bekerja sama dengan negara pemilik hutan agar menjaga dan merawatnya.

Menurutnya, Indonesia sudah melakukan usaha-usaha seperti yang program REDD inginkan, yakni dengan menanam pohon kembali atau tebang pilih pohon.

Susilowati berharap program REDD yang kemungkinan besar akan dilaksanakan di Indonesia bisa bermanfaat kepada masyarakat, tidak hanya golongan tertentu saja.

Sementara itu, Azmi Sirajuddin, seorang pemantau REDD mengajak masyarakat untuk aktif mencatat kerusakan-kerusakan hutan dan melaporkannya kepada pihak berwenang agar segera diperbaiki.

Menurutnya, saat ini masyarakat kurang peduli terhadap kerusakan hutan dan lingkungan meski itu ada di depan mata mereka, seperti yang terjadi di sejumlah lahan pertambangan atau perkebunan yang sebelumnya adalah hutan.

"Mungkin saja aktivitas pertambangan itu justru menguntungkan masyarakat secara ekonomi sehingga kerusakan hutan dibiarkan," kata Azmi.

Hutan bisa diungkapkan seperti paru-paru dunia. Jika keberadaannya kian rusak atau terancam habis maka "kesehatan" dunia juga terancam. Hijaunya hutan tergantung tekad serta keseriusan pemerintah dan masyarakat saat ini menjaganya, seperti yang dikatakan Azmi. Kita berharap masih bisa melihat bentangan "karpet" hijau saat naik pesawat terbang. Saat ini karpet tersebut masih bolong-bolong karena ulah manusia. (.R026/